Minggu, 18 April 2010

MALUKU, KIBLAT PERDAMAIAN DUNIA


"INDAHNYA DIAM BERSAMA RUKUN"

"Ya Allah, satukan hati dan fikiran kami untuk hidup dalam kebersamaan dan jauh dari konflik. Makmurkanlah daerah kami ini".

BEGITULAH penggalan kutipan do'a penutup acara pembukaan, Seminar dan Lokakarya (Semiloka) Kerukunan Umat Beragama, yang mengusung tema, 'Peranan agama-agama dalam membangun kerukunan sejati di Maluku', yang berlangsung di Gedung Aula Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, hasil kerjasama IAIN Ambon, Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maluku, dan Balitbang Departemen Agama RI.

Ruang Aula IAIN Ambon, Senin, 21 Desember, seakan disulap dalam sekejap mata. Lantai keramik putih itu, diletakkan 18 meja bundar, yang didesain dengan sarung kuning, plus kursi bersarung putih, dengan ditata rapih saling berhadapan. Di di depan fodiumnya, terdapat empat kursi dan meja persegi panjang yang dibalut dengan kain hijau, sebagai lambang kesuburan dan kemakmuran.

"Tak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antar agama, akan tetapi tidak akan ada perdamaian tanpa dialog antar agama", inilah ungkapan Hans Khung, yang dituangkan Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu, dalam sambutan tertulisnya, yang dibacakan Assisten I, Provinsi Maluku, Piet Norimarna, saat memberikan sambutan pada agenda pembukaan Semiloka Kerukunan Umat Beragama di IAIN Ambon kemarin.

Pelaksana kegiatan, Hasbullah Toisuta, dalam awal laporannya menyebutkan, kegiatan ini didorong dengan program kemasyarakatan, untuk menciptakan tatanan kehidupan yang beradab. "IAIN Ambon sebagai lambang pendidikan tinggi di Maluku, merasa terpanggil untuk adakan kegiatan ini", tukas Hasbullah.

Kegiatan yang berlangsung sampai Selasa, 22 Desember hari ini, menghadirkan tokoh agama, Prof DR H Dedi Djubaedi, M.Ag dan Pdt Jhon Ruhulessin, serta dua pakar budayawan termana di Maluku, yakni Drs Nur Tawainella, M.Si dan Prof DR Mus Huliselang.
Rektor IAIN Ambon, Prof H Dedi Djubaedi, M.Ag, dalam sambutannya menyatakan, semiloka ini sekaligus ajang dari silaturahim. Karena, lewat acara ini, masyarakat dari agama-agama di Maluku dapat berkumpul dan menyatukan pandangan mereka dalam pelbedaan.

Dedi lalu menyebutkan, Maluku harus menjadi kiblat bagi perdamaian umat di dunia, yang ini merupakan manifestasi dari pelaksanaan Gong Perdamaian di Kota Ambon beberapa waktu lalu. "Maluku harus menjadi kiblat umat pecinta perdamaian di dunia", ujar Dedi disambut tepuk tangan.

Kata dia, perdamaian tidak cukup hanya digaunkan, tapi yang pentingnya dimanifestasikan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara menjauhkan rasa curiga di dalam diri, pada setiap pergaulan atau pertemuan. "Sejatinya, Maluku berdamai."

Dekat dengan Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu, dalam sambutan tertulisnya menyatakan, ungkapan Hans Khung, soal perdamaian dan agama perlu mendapat renungan dari semua elemen masyarakat. Karena, secara sosiohistoris konflik atas nama agama, telah menoreh luka rohani dan stigma kolektif yang cukup mendalam dari tingkat lokal sampai sejarah Internasional.

Ia lalu menguraikan beberapa sejarah konflik antar agama di dunia, hingga tanah air. Seperti perang salib antar umat Islam dan Kristen, yang berlangsung sangat lama, konflik antara umat Khatolik dan Prostestan di Irlandia Utara, konflik antar umat Hindu dan Islam di India, hingga konflik antar umat Islam dan Umat Kristen di tanah air, seperti Posso, Sulawesi Tengah, dan Maluku, merupakan fakta historis bahwa, konflik antar agama memiliki sensitifitas yang sangat tinggi.

Sadar, walaupun faktor agama bukanlah satu-satunya akar masalah, akan tetapi ketika konflik itu diberi lebel dan dijustifikasi atas nama agama, maka hal tersebut dapat menimbulkan tingkat kesetiaan dan semangat berjuang yang sangat tinggi, walaupun harus mengorbankan jiwa raga, keluarga dan harta benda, urai Piet membacakan sambutan Gubernur Maluku. Padahal, semua nabi dan rasul dalam membawa agama ke muka bumi, tidak mengajarkan tentang konflik.

Untuk Maluku, Karel menyebutkan, ada banyak istilah yang sudah ditanamkan para leluhur kita. "Misal saja, ale rasa beta rasa, potong di kuku rasa di daging, atau sagu salempeng dibagi dua." Semua ini, adalah istilah orang Maluku, yang dapat merajut hubungan antar umat beragama di daerah ini.

Sementara itu Rektor IAIN Ambon, Prof Dedi dalam makalahnya 'membangun perdamaian sejati dalam masyarakat prulal', menyebutkan, peran agama sebagai perekat heterogenitas dan pereda konflik sudah lama dipertanyakan. Tak dapat difungkiri, manusia yang menghuni bumi ini, begitu heterogen terdiri dari berbagai suku, etnis, ras, penganut agama, kultur dan peradaban.

Prof Dedi dalam makalahnya menyebutkan, Samuel P Huntington, menyatakan, perbedaan tidak mesti konflik, dan konflik tidak mesti berarti kekerasan. Dalam dunia baru, konflik-konflik yang paling mudah menyebar dan sangat penting sekaligus berbahaya bukanlah konflik antar kelas sosial, antar golongan kaya dengan golongan miskin, atau antar kelompok-kelompok (kekuatan) ekonomi lainnya, tetapi konflik antara orang-orang yang memiliki entitas-entitas budaya yang berbeda-beda. Namun, selama berabad-abad, perbedaan entitas agama telah menimbulkan konflik yang paling keras dan paling lama, paling luas, dan paling banyak memakan korban.

Dalam citranya yang negatif, agama telah memberikan kontribusi terhadap terjadinya konflik, penindasan dan kekerasan. Agama telah menjadi tirani, dimana atas nama Tuhan, orang melakukan kekerasan, menindas, melakukan ketidakadilan dan pembunuhan.

Pada padanan paragraf lain, Dedi menyebutkan, menghadapi pelbagai ketimpangan sosial yang ada di Indonesia dewasa ini, seperti konflik, kekerasan, KKN, illegal loging, illegal fishing, bencana alam, dan lainnya, agama-agama bukannya memainkan peranan profertinya yang pro-kemanusiaan, justru lebih banyak bermain di domain sosio-politik. Dampaknya, agama-agama pun terjebak dalam ketegangan-ketegangan idiologis yang ingin saling menghigemoni dan mendominasi. Secara sosio-historis dalam kehidupan masyarakat plural, agama sebagai kekuatan sosial sering menjadi persoalan.

Pada kesimpulannya, Dedi menjelaskan, bahwa upaya-upaya membangun perdamaian sejati dalam konteks hubungan orang basudara di Maluku yang semakin plural, lembaga-lembaga agama di Maluku perlu membuka ruang dialog secara jujur, terbuka dan kritis antar iman, dengan semua komponen umat beragama di Maluku, secara kontinyu, seperti diskusi, seminar, studi agama-agama, dalam rangka membangun pemahaman perspektif orang Salam terhadap Sarane, atau sebaliknya, harus dibukan untuk dibicarakan.

Tampil sebagai pemateri pertama, Prof DR Ahmad Safi’i Mufid dari Balitbang Depag RI, menjelaskan, agama tidak pernah mengajarkan konflik. Yang konflik adalah doktrin agama dalam budaya sosial kehidupan. Kata dia, Lembaga adalah organisasi atau badan (institution) yang melaksanakan norma atau aturan mengenai suatu aktifitas masyarakat, dimana aturan dan norma yang dijadikan acuan dalam aktifitas masyarakat disebut pranata (institute).

Lembaga atau organisasi yang melaksanakan norma atau aturan berkenaan aktifitas keagamaan masyarakat disebut lembaga agama atau lembaga keagamaan, seperti pendidikan agama, ibadah, kerukunan adalah pranata, sedangkan IAIN, STAKN, Gereja Maluku, Masjid Al Fatah, FKUB dan adalah lembaga atau organisasi merupakan lembaga agama itu.

Lalu bagaimana peran lembaga keagamaan. Manusia yang melakukan tindakan interaksi biasanya menganggap dirinya berada dalam satu kedudukan sosial tertentu (status sosial). Tingkah laku individu yang melakukan tindakan tertentu berkaitan dengan status, disebut peranan atau peranan sosial (social role). Ini membutuhkan peran lembaga keagamaan, dalam tindakan yang dilakukan oleh lembaga atau organisasi keagamaan untuk interaksi sosial. Penamaan agama, agama bersumber dari “suara langit”, atau revelation yang diyakini mutlak benar dan suci. Agama adalah sakral, lainnya profan. Peran ganda agama sebagai identitas kelompok yang menyatukan komunitas homogen, di lain pihak agama sebagai identitas kelompok yang membedakan antara kelompok yang satu dengan kelompok lain. Hasilnya lembaga agama seringkali dianggap sakral, termasuk pemimpin dalam masyarakat beragama. "Peran pemimpin agama sangat dominan dalam kehidupan beragama", urai dia.

Dalam diskusi kemarin, ia banyak menjelaskan pengalamannya selama 30 tahun mendalami peran agama-agama untuk perdamaian. Agama berasal dari “langit” suara dari Tuhan. Ketika agama berkembang dengan menggunakan bahasa yang berbeda, agama dari Tuhan menjadi berbeda antara satu dengan yang lain. Ketika agama menjadi identitas kelompok suku (kabilah), ketika agama menjadi alat untuk memperoleh kekayaan (ghanimah) dan mengembangkan teologi seperti sebagai kebudayaan dominan, maka perang atas nama agama menjadi tragedi sepenjang sejarah. "Perang dengan dan atas nama agama menjadi nyata setelah muncul crusade atau shalabiyun dan perang sabil."

Ia juga menyebutkan, tradisi kecil (little tradition) diserap ke dalam agama dunia (Hindu, Budha, Islam dan Kristen). Hubungan ketidakseimbangan terjadi di antara keduanya dan tidak meninggalkan konflik. Hindu dan Budha saling menyerap, tetapi Wangsa Sanjaya (kerajaan Mataram) dan wangsa Sailendra ( Sriwijaya) mengalami ketegangan.
Islam dan Hindu-Budha, membangun toleransi. Tetapi bangsawan Majapahit bersitegang dengan penguasa Demak.
Islam dan Kristen bersitegang dari awal karena merupakan kelanjutan konflik di Barat yang dibawa ke wilayah negeri jajahan. Sejarah Maluku meninggalkan sejumlah catatan mengenai hubungan ini, kata Prof Ahmad.

Lebih jauh, dia menyebutkan, hidup dalam kebhinekaan (multikultural, isy al mustarak) sudah menjadi pandangan yang diterima oleh banyak pihak. Pada level international, di tahun 1962 Pope John XXII, meminta agar Gereja Katolik terlibat dalam dialog dengan gereja-gereja lain dan dengan tradisi serta ideologi di luar agama Kristen. Latar belakang pemikirannya antara lain migrasi penduduk dan tantangan yang dihadapi oleh misi Kristen.

Cardinal Montini ( Paul VI) kata dia, melanjutkan gagasan Pope sebelumnya dan melahirkan koleksi dokumen yang sangat bagus dalam kerukunan umat beragama; Lumen Gentium (Lights of the Nation), Nostra Aetate (in Our Times), Dei Verbum (On Devine Revelation), Gaudium et Spes (joy and Hope) dan Ad Gentes Divinitus ( the Universal of Salvation) and Dignitatis Humanea (dignity of the human person).

Cakarang, balabu, tomi-tomi. Inilah tiga nama meja dari 18 meja, yang dikeliling enam pasang kursi, untuk ditempati para tamu dan peserta dalam Semiloka Kerukunan Umat Beragama di Maluku. Pemberian nama dengan lebel nama-nama ikan maupun buah di Maluku ini, guna memudahkan para peserta untuk lebih dekat terhadap lokal wisdom di Maluku.

Pasalnya, perdamaian di dunia ini sangat mahal, termasuk di Maluku. Salah satu ciri perdamaian di Maluku, bagaimana mendekatkan sisi adat dan budaya, seperti maanu, pela dan gandong. Sejarah Maluku menukilkan konflik tahun 1999 silam, bisa reda karena adanya pendekatan keluarga, bukan campur tangan orang lain, kalaupun ada campur tangan orang lain, hanya dari sisi ekonomi. Bahkan mendiang mantan Presiden RI, Gusdur, sekembalinya dari Maluku saat konflik, menyerahkan sepenuhnya agar konflik di daerah ini, bisa diselesaikan oleh orang Maluku sendiri. Ungkapan Gusdur ini, membuktikan adanya kesatuan orang Maluku yang bisa berdamai dari konflik berdarah 9 tahun silam. Orang berhenti untuk bertikai, karena adanya hubungan yang sudah terbangun dari para leluhur di daerah ini.

Prof DR Ahmad Safi’i Mufid dari Balitbang Depag RI, yang menyuguhkan materi, peran lembaga agama dalam membangun perdamain sejati. Di dalam materinya, ia menyebutkan tentang mahalnya perdamaian di dunia. Kegiatan yang menghadirkan 100 orang peserta lebih dari berbagai komunitas agama ini, berlangsung dalam tajuk keterbukaan dan kebersamaan. Bahkan, ada peserta yang menyebutkan, harus adanya rukun di hati dan rukun di keluarga.

Menurut Prof Ahmad, the Anglican Communion pada tahun 1968 telah memasukkan diskusi tentang dialog antar agama pada Resolusi Konferensi Lambeth. Resolusi no 11 (Christianity and Other Faiths) dari konferensi Lambeth mendorong gereja-gereja Kristen untuk memelihara hubungan yang positif dengan berbagai umat beragama dalam bidang aksi ekonomi, sosial dan moral. Katanya Mu’tamar al 'alam al Islami (World Moslem Congress) pada tahun 1969 mengangkat isu dialog antaragama, khususnya dengan agama Kristen. Bahkan Rabitat al ‘Alam al-Islami (Moslem World Laegue) didirikan untuk tujuan menciptakan harmoni antarsesama manusia melalui prinsif keadilan, dan melalui aksi kebajikan.

Di akhir abad 20 dan awal abad 21, dialog Muslim-Kristen dan antaragama jauh berkembang dan mencakup banyak isue. Raja Abdullah, dari Arab Saudi berkunjung ke Vatikan pada bulan Nopember 2007. Sebelumnya Paus juga bertemu dengan para pemimpin Iran (Syi’ah). Presiden Khatami juga mengunjungi Vatikan dalam rangka yang sama, katanya.

Menariknya, sambutan Raja Abdullah bin Abdul Aziz pada Konferensi Dialog Antaragama di Madrid, Spanyol (16-18 Juli 2008) menuturkan, sahabat-sahabatku yang terhormat. "Saya datang kepada anda dari tempat yang dekat dengan hati semua muslim, tanah tempat dua Masjid Suci, membawa sebuah pesan dari dunia Islam, yang mewakili para sarjana dan pemikirnya yang belum lama ini bertemu dalam lingkup Baitullah." Pesan ini menyatakan bahwa Islam merupakan agama yang tidak berlebih-lebihan dan bertenggang rasa. Sebuah pesan yang menyerukan sebuah dialog konstruktif diantara umat beragama. Sebuah pesan yang berjanji membuka sebuah halaman baru bagi umat manusia. "Insya Allah, musyawarah akan menggantikan konflik,” tuturnya.

Ia lalu menanyakan, bagaimana peran lembaga-lembaga agama ini? Tahun 1969 lahir peraturan SKB Menag dan Mendagri No 1 tahun 1969. Peraturan ini lahir setelah perisitiwa Makassar. Dari perisitiwa ini disepakati untuk dialog antar umat beragama namun tidak berhasil. SKB pun lahir, namun belum juga menyeslaikan persoalan. Lahir juga LSM dan lembaga-lembaga masyarakat dengan tujuan memelihara perdamaian, seperti, dian Interfide, ICRP, Wahid Institut, STARA.
Pada era reformasi lahir peraturan bersama menteri agama dan menteri dalam negeri no 9 dan 8 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB dan pendirian rumah ibadah.
Belakangan lahir PBM antara Menag dan Mendagri tentang tugas kepala daerah dan wakil kepala daerah. Muncul juga lembaga baru yang difasilitasi pemerintah bernama FKUB. Bagaimana mewujudkan perdamaian? Kesemua lembaga ini berupaya membangun perdamaian sejati. Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dan aparat, ketika peristiwa terjadi? LSM perdamaiankah atau FKUB?

Ketika eskalasi konflik mulai menurun, apa yang mesti dilakukan dan siapa yang melakukan. Bagaimana cara memelihara perdamaian, dan siapa yang mesti melakukan. Semua ini pertanyaan yang ada di dalam diri kita, untuk kita sendiri yang menjawabnya. Ataukah seperti yang dijawab Prof Ahmad, pengembangan multikultural.

Menurut Prof Ahmad, pengalaman kemanusiaan mutlak. Orang mempersepsikan Tuhan, apakah itu Tuhan, tapi Tuhan tak pernah meminta dipersepsikan. Kata dia, kebenaran dalam logika itu satu, tapi kebenaran dalam budaya dan sosial itu multi makanya muncul multikulturalisme.
Asia tampil. Dari Asia ini muncul yoga, muncul zikir, semadi, bebagai macam olahraga dan bisa diikuti semua pihak. "Ini semua agama bisa mengikuti. Asia memiliki kekayaan dan bisa menyatukan manusia di dunia. Soal yang dimunculkan para penanya soal sumberdaya. Pendidikan juga direduksi, formalisme agama dan kurang menekankan subtstansial agama", tukasnya.

Pasal mana, membuktikan kalau akar konflik di Ambon dan Posso, persoalan dominantnya kebudayaan. Kata Prof Ahmad, hindari anak mas. Karena, akan menyebabkan degradasi sosial, kalau tidak dihindari. Alkadri, sosiolog dari Tanjung Pura, juga menilai konflik juga persoalan migrasi, kalau tidak dikelolah dengan baik, maka akan menjadi lab konflik.

Dalam sesian lain, tokoh agama, Pdt Jhon Ruhulessin, yang tampil sebagai pemateri, 'peranan agama dalam membangun kerukunan sejati di Maluku', menuturkan keyakinan dasarnya, ketika kita berbicara tentang agama atau kerukunan. Masalahnya, bukan terfokus pada agama atau kerukunan, melainkan apa yang ingin dicapai. "Dan saya rasa yang ingin dicapai adalah kemaslahatan manusia dan kemanusiaan itu", tukas Pdt Jhon.

Jhon mengusulkan, dengan demikian, cara pandang tentang agama atau kerukunan seharusnyalah cara pandang terbuka. Dalam pandangan modern kata dia, menurut Erich Fromm, Karl Rahner dan kelompok yang sepadan, selalu menegaskan perlunya reformasi dalam memandang agama.

Menurut Jhon, dalam konsili Vatikan ke II, memandang agama bukan pertama-tama sebagai, 'organisasi kekuasaan', melainkan persekutuan beriman atau dalam pandangan Eka Darmaputera disebut, 'komunitas eksemplaris'; penekanan pada penguatan dan kematangan etika, moral, spritualitas dan komitmen, dan bukan pada struktur atau formalisme. Kesadaran untuk mencari dan menemukan 'dambaan dasar dari inti agama atau spritualitas' itu. Kata Jhon, pada dasarnya, agama-agama memiliki dambaan dasar yang sama, merindukan Tuhan Yang Esa, serta keadilan, kesejahteraan dan perdamaian bagi kemaslahatan manusia.

Pada akhir paragraf makalahnya, Ketua Sinode ini menjelaskan, dalam kitab Mazmur 133, tema'persaudaraan yang ruku', ayat 1, menjelaskan, "Sungguh alangkah baiknya dan indahnya apabila saudara-saudara diam bersama rukun." Kata ibraninya menurut Jhon, yakhad, yang berarti persatuan yang didasarkan pada kasih persaudaraan. Hidup seperti itu adalah hidup yang diberkati oleh Tuhan (ayat.3b). Dengan kata lain, jelas dia, hidup yang tidak diberkati oleh Tuhan. Dengan demikian, maka kerukunan secara iman Kristen mengandung makna hidup dalam persaudaraan sejati dengan damai, penuh pengertian, menghargai dan menghormati, dialogis, kerjasama yang setara, demi kebaikan bersama dan kemaslahatan bersama seluruh umat manusia. Olehnya itu, Pendeta Jhon menuturkan, perspektif keagamaan yang menopang dan memungkinkan terbangunnya kerukunan semacam itu, adalah perspektif keagamaan yang fungsional, terbuka, emansipasif dan transformatif. Dengan demikian, kakta dia, agama dan kesalehan keagamaan dalam perspektif kerukunan harus memiliki imflikasi praksis kemanusiaan. "Agama tidak akan terlepas dari dimensi-dimensi dialogis dengan disiplin ilmu yang lain, untuk memperkaya kebersamaan dan persaudaraan kita membangun Maluku yang lebih bersaudara, setara, berkedamaian, berkeadilan dan berkesejahteraan serta yang memiliki religiusitas," ungkap Pendeta Jhon.

Pendeta Jhon menuturkan, hubungan manusia di Maluku harus dibangun perbedaan yang kualitatif, bukan kehidupan beragama saja, tapi yang pentingnya kehidupan dan kemaslahatan manusia. Kalau agama tidak bisa bangun humanisme, maka agama dianggap gagal, tukas Pendeta Jhon.
Kata dia, kehidupan beragama, selalu timbul kontroversi. Di sisi lain, kontroversi penting untuk menyatukan perbedaan. Kalau agama dipandang dari sisi ruh. Di sisi ini, etika dan moral memiliki peran penting sebagai domain perdamaian. Konflik menjadi tidak ada, karena agama yang diyakini dari sisi praktek rutual. Agama merindukan keadilan dan kedamaian, di sisi lain, orang beragama terus konflik karena mengabaikan adab.

Pada sisi budaya, hadir Drs M Noer Tawainella, M.Si, yang mempresentasikan, 'Ekspolarasi nilai-nilai budaya dalam membangun kerukunan sejati di Maluku.
Kata dia, ketika hati nurani bicara, konflik tak ada. Yang ada hanya penyesalan dari kesudahan adanya konflik. Kata dia, manusia ditransformasikan ke dalam budaya, karena agama itu abstrak. Berada pada wilayah yang tidak kita tahu. Bagaimana tahu, lewat kendaraan yang disebut budaya. Kata dia, orang berbudaya akan menghargai usulnya, yang dapat melahirkan bibir pertemuan makro dan mikronesia. Budaya orang Maluku, terbentuk dari sejarah orang yang tinggal di pesisir pantai, karena orang mengetahui agama, lewat pintu budaya. Merilik Maluku, orang Maluku, adalah manusia yang tinggi budayanya, tinggi budinya.

Di sisi lain kata dia, orang Maluku adalah orang yang cepat marah, tapi cepat habis. Istilah tuang hati jantong, gunung tanah, gandong-pela, maanu, semuanya merupakan gambaran refleksi, terhadap bumi kelahiran Maluku. Bumi yang dibentuk oleh para leluhur, berdasarkan etika dan budi pekertinya, untuk saling menghargai sesama.

Lalu, bagaimana dengan Prof DR Mus Huliselang. Dalam makalahnya, 'peranan nilai-nilai budaya dalam membangun kerukunan sejati di Maluku', menjelaskan, konstalasi kebudayaan di Maluku, untuk bagaimana memahami keberadaan orang Maluku saat ini. Masyarakat Maluku, pada awalnya kelompok besar, kata dia. Ia juga menuturkan, alune, wamale, uru siwa, uru lima, pata siwa, pata rima, semua ini merupakan simbol mendamaikan konflik. Dijelaskan, para leluhur di Maluku yang telah membumikan budaya di daerah ini, teraflikasi dalam hidup mereka setiap saat. Itu sebabnya, hal yang bukan menjadi milik mereka, tidak bisa diambil tampa ijin. Berbeda dengan kondisi saat ini, yang diserang dengan budaya luar setiap saat, yang menggorogoti tindakan dan gerakan anak muda di Maluku, hingga gampang larut dalam konflik. Saat ini kata dia, orang Maluku sudah saling monopoli, dan itu lahir sejak tahun 1532-1565.

Kata dia, sejarah menukilkan, masuknya penjajah Belanda, membuat nilai-nilai pata siwa dan pata lima di daerah ini menjadi buram dan saling menyerang. Di sini terjadi perang pemaksaan agama, yang dimulai dari Ternate, kerajaan Tidore. Terjadi pemaksaan beragama, yang menimbulkan konflik berpanjangan, dan bukan hanya perebutan kekuasaan wilayah saja. Gesekan di Seram, dan Lease, sangat besar dibandingkan dengan Kei, Tenggara dan Aru, jabar Prof Mus. Baru pada 300 tahun silam, pranata pela muncul untuk melawan kekerasan dan penjajahan di daerah ini. Pencetusan pela, didasarkan kepada penghargaan ritual beragama, sehingga kekuatan itu timbul dan bisa menumpaskan para kolonialisme Belanda dan Spanyol. Untuk itu, dibutuhkan pengayaan agar persoalan konflik di daerah ini dapat berakhir dan tidak menumpahkan darah lagi.

Dalam akhir kegiatan, Benhur G Watubun, peserta, dalam pesannya, memberikan penghargaan yang setingginya atas semiloka ini. IAIN Ambon bisa memberi warna kerukunan umat di Maluku. "Sebutir pasirpun dapat menunjang sebuah bangunan, lewat butir-butir pemikiran inilah, kita dapat membangun Maluku dalam kerukunan yang damai. Bukan permulaan, tapi implementasi hasil akhir untuk kedamaian umat di dunia dan ini menjadi refleksi untuk hidup di masa datang." Akhirnya, kegiatan ditutup dengan puisi yang dengan judul,'Ibu', yang disampaikan oleh Rudi Fofit, yang juga hadir sebagai salah satu peserta dalam semiloka ini. ****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar