Kamis, 29 Juli 2010

14 Guru Amerika Serikat Kunjungi Maluku

Alam Maluku Laksana Ladang Emas

Keberadaan alam di Maluku baik darat maupun laut laksana ladang emas. Sayang sekali alam yang begitu menjanjikan ini belum tersentuh secara efisien oleh pemerintah. Setidaknya ini disampaikan langsung oleh Director Asia Pasicificed Program East-West Center, Namji Steinemenn saat berada di Maluku sejak tanggal, 24 Juli 2010. Namji bersama tiga belas teman gurunya akan berada di Maluku hingga tanggal 28 Juli. Selama berada di Maluku mereka belajar tentang alam dan budaya di negeri ini.

Ungkapan ladang emas tak hanya disampaikan Namji tapi juga ketiga belas teman gurunya. Bahkan menurut mereka, kalau saja pemerintah bisa menaruh kebaikannya dalam menyiapkan sarana dan prasarana yang memadai, maka sumber alam di negeri ini bisa dikelola oleh masyarakat umum.

Grace Chao, guru matematika salah satu SMP di Honolulu (Hawaii) mengambil sampel dengan daerahnya. Kata dia, alam Hawai tak ubahnya dengan di Maluku. Mereka hidup di pesisir pantai. Untuk bisa bertahan hidup, pemerintah setempat menyediakan perlengkapan sarana dan prasarana yang berhubungan langsung dengan laut. Sebut dia sarana pariwisata misalnya. Dengan fasilitas pariwisata yang memadai, menarik masyarakat untuk bisa meraup keuntungan dari para wisatawan. Sungguh jauh berbeda dengan Maluku. Padahal daerah ini alamnya masih sangat alami bahkan belum dikotori oleh sampah. Ia lalu mengusulkan kepada Pemerintah Maluku maupun kabupaten/kota agar bisa belajar dari daerah lain. Pasalnya di Indonesia juga sudah banyak daerah yang maju dari hasil wisatanya.

Selama berada di Maluku keempat belas guru ini menyempatkan waktunya untuk bertatap muka dengan para guru, siswa, mahasiswa maupun masyarakat. Empat belas guru asal negeri Paman Sam mengunjungi Sekolah Menengah Atas (SMA) Siwalima Ambon di Desa Waiheru, Kecamatan Teluk Baguala, dan kampus Institut Agama Islam Negeri Ambon. Kunjungan ini merupakan bagian dari agenda para guru asal Amerika Serikat, yang tiba di Ambon Minggu, 24 Juli kemarin. Dalam kunjungan kemarin, para guru yang berasal dari enam negara bagian di Amerika Serikat ini mendapat sambutan meriah. Baru tiba di pintu gerbang, para guru yang mendidik siswa SMP dan SMA di Amerika ini langsung dijamu dengan lagu dan tarian adat Maluku, termasuk tarian cakalele dan nyanyian 'pela gandong'.

Keterampilan para siswa di sekolah menengah unggulan itu, tak hanya membawa lagu dalam bahasa Indonesia, tapi juga bahasa Inggris. Lagu pela gandong disuguhkan dengan bahasa inggris, dalam lirik yang sama. Setelah berada di halaman kantor, para guru yang dipimpin oleh Director Asia Pasicificed Program East-West Center, Namji Steinemenn kembali disambut oleh dewan guru SMA Siwalima.

Didampingi Kepala SMA Siwalima, 15 guru yang ditemani oleh Rektor IAIN Ambon, Prof DR H Dedi Djubaedi, tiga mahasiswa IAIN serta dua staf LSM Tifa Damai Maluku, lalu dipersilahkan masuk ke dalam ruang kepala SMA Siwalama. Kurang lebih dua jam mereka berada di dalam ruang Kepsek SMA Siwalima.

Kepsek SMA Siwalima dalam keterangannya menyatakan, sekolah yang dipimpinnya menampung para siswa-siswi terbaik asal SMP negeri yang ada di seluruh kabupaten/kota di Maluku. Di SMA unggulan yang dibiayai oleh daerah ini, hanya memprogramkan satu bidang ilmu pengetahuan yakni Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Sekolah ini menampung dua komunitas yang pernah bertikai di Maluku yakni Islam dan Kristen. Dari sekolah ini, para siswa kemudian menyatu dan belajar bersama. Selain mereka tinggalnya di sekolah ini juga memudahkan proses kontrol belajar siswa, yang ditargetkan menjadi siswa unggulan di Maluku.

Banyak cerita yang didapatkan para guru asal Amerika Serikat saat berada di SMA yang juga menampung para guru andalan di Maluku ini. Beberapa cerita menarik, bahkan menyita perhatian para guru asal negeri Paman Sam itu. Diantaranya soal kebersamaan para siswa dan guru SMA Siwalima. Kebersamaan itu dipraktekkan saat menjelang hari besar keagamaan. Karena di SMA Unggulan ini menampung siswa dari berbagai agama, ketika hari besar beragama, para siswa saling mengunjungi. "Misalkan di saat natal. Siswa dan guru yang muslim berkunjung ke guru dan siswa yang beragama Kristen. Sebaliknya ketika lebaran Idul Fitri dan Idul Adha. Para siswa dan guru Kristen berkunjung ke siswa dan guru yang beragama Islam." Semua ini terjadi selama para siswa berada di sekolah. Dengan tujuan untuk membangun hubungan sesama manusia yang hidup di muka bumi.

Panjang lebar Kepsek SMA Siwalima menceritakan apa yang sudah dilewati baik oleh para guru maupun siswa. Dengan harapan dapat menjadi keterangan kepada para guru asal Amerika Serikat itu. Setelah itu, Director Asia Pasicificed Program East-West Center, Namji Steinemenn memperkenalkan satu-persatu dari empat belas guru yang datang ke Maluku bersamanya. 14 guru yang terdiri dari Gayitri Indar, Diane Martinson-Koyama, Jeannine Kuropatkin, Screnity The, Chi-An Lin, Charlene Tevis, Michelle Swanger Alexander, Nina Wohl, Sara House, Linda Robinson, Grace Chao, Steven Shimmon dan Alexander Schwarz berasal dari San Fransisco, New York, Texas, Honolulu (Hawai), North Carolina, Connecticut, Oklahoma dan Meza Arizona.

Mereka ini ada yang membawa mata pelajaran bahasa, pelajaran sejarah bangsa-bangsa, geografi, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni lukis maupun matematika. Sesaat memperkenal diri, baik kelima belas guru asal Amerika Serikat maupun para dewan guru dari SMA Siwalima, lalu berbegas dan menuju ke ruang kelas siswa. Saat berada di ruang kelas, para guru dari Amerika itu berdialog langsung dengan siswa-siswi SMA Siwalima. Suasana kelas tak ubahnya di kelas bahasa Inggris. Pasalnya seluruh siswa berbaur dan hanya berbicara dengan bahasa inggris. Maklum, kali ini bukan guru bahasa Indonesia atau matematika atau IPA yang keseharian bersama dengan mereka. Tapi mereka belajar dan bermain langsung dengan para guru asal Amerika Serikat yang hanya bisa berbicara dan memahami bahasa Inggris. Tiga kelas yang sesungguhnya masih dalam suasana orientasi siswa baru itu, langsung bisa mengekspresikan kemampuan berbahasa inggris mereka.

Jeda tiga puluh menit kemudian, para guru ini dijamu dengan makanan khas Maluku. Ada singkong, patatas, pisang rebus yang dipadukan dengan sayur acar rebung yang terbuat dari tunas bambu serta ikan tongkol bakar. Para guru asal negeri Paman Sam ini tampak menikmati sekali hidangan yang disajikan ala khas Maluku. Ternyata acara makan siang itu menjadi lebih nikmat setelah para siswa-siswi menyuguhkan empat buah lagu dengan lirik Ambon. Udara siang itu lebih memperkaya pengalaman para guru yang merasa kagum-kagum dengan keindahan alam negeri ini.

Bahkan mereka merasa negeri ini laksana surga. Apa yang diinginkan oleh masyarakat semuanya telah tersedia. Makanan, minuman maupun buah-buahan, imbuh Charlene Tevis dan Gayitri Indar.

Usai menunaikan hajat di SMA Siwalima, para guru ini kemudian bertolak ke Pantai Liang. Di Pantai Liang, mereka melakukan dialog dengan masyarakat dari Desa Waai dan Desa Liang. Hanya beralaskan terpal, diskusipun berlangsung kurang lebih dua jam. Diskusi panjang itu menambah pengetahuan bagi mereka tentang budaya di Maluku, termasuk ketidakmampuan eksekutif dan legislatif dalam melihat segudang persoalan yang dihadapi masyarakat di lapangan. Ketidakmampuan eksekutif dan legislatif ini diungkapkan langsung oleh masyarakat.

Salah satunya soal sumber daya alam yang sampai saat ini tidak mampu dikelola oleh pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat. Sumber daya alam yang begitu luas di Maluku, bahkan dibenarkan oleh Chi-An Lin. Guru yang kini tinggalnya di Honolulu (Hawaii) ini merasa aneh dengan Pemerintah Maluku. Pasal mana kondisi alam yang melimpah ruah tak mampu digali secara efisien.

Ia lalu mengusulkan agar pemerintah menerapkan sistem pendidikan yang mengarah kepada pemanpaatan sumber alam itu. Misalnya pendidikan berbasis kepulauan ataupun berbasis kelautan. Kalau ini sudah dijalankan secara profesional, maka dengan sendirinya masyarakat di Maluku akan sejahtera.

Untuk menutup agenda mereka di Maluku, para guru ini mengajak para siswa dari dua sekolah yang berbeda yakni MTs Pondok Pesantren Darul Quran Al-anwariyah Tulehu dan SMP Rehoboth di Pantai Latuhalat, Selasa, 27 Juli. Mereka mencairkan perbedaan yang selama ini menjadi alat penghambat kesamaan, tanpa memandang suku, ras, agama dan bangsa di Pantai Latuhalat. (***)

Minggu, 18 Juli 2010

8 versus 29

Menoreh Eksistensi Parpol Dalam Pilkada SBT

ANGKA yang tidak sebanding. 8 versus 29. Ini merupakan jumlah parpol pendukung pasangan Calon Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) jilid dua, yang sudah berlangsung, 7 Juli lalu. Delapan parpol menyatakan dukungannya kepada pasangan, Abdul Mukti Keliobas - H Jusuf Rumatoras. 29 parpol menyatakan dukungannya kepada calon incumbent, Abdullah Vanath-Siti Umuria Suruwaky.

Dari angka, kita bisa membaca, kalau kemenangan hanya berpihak kepada calon incumbent, Abdullah Vanath-Siti Umuria Suruwaky. Alasannya cukup kuat. Jumlah parpol pendukung lebih banyak dibandingkan pasangan, Mukti-Jusuf, yang hanya mengantongi delapan parpol. Hanya saja, kita patut ingat, bahwa Pilkada demokrasi ditentukan oleh rakyat. Karena pilkada demokrasi, asalnya dari rakyat dan akan kembali ke rakyat.

Rakyatlah yang menentukan siapa pemimpin mereka. Rakyat yang memilih di saat berlangsungnya pemilihan. Sejarah bangsa mencatat, dalam catur perpolitikan, parpol tidak menjadi penentu kemenangan. Sebagai buktinya, bangsa Indonesia dipimpin oleh mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono. Yang sesungguhnya, dalam Pemilu sebelumnya dan pada pemilu 2009 lalu, SBY hanya mendapat dukungan dari Parpolnya. Parpol yang baru berusia umur jagung tersebut, mampu mengalahkan beberapa parpol koalisi, yang merupakan parpol penentu kemenangan selama kurun abad bangsa, dalam pencaturan dunia politik.

Itu artinya, pemilihan kepala daerah mutlak berasal dari rakyat dan akan kembali kepada rakyat. Parpol tidak selamanya menjadi tampu pemenang dalam suatu pemilihan kepala daerah. Kemenangan akan ditentukan oleh figur, siapa yang dicalonkan dan akan dipilih oleh rakyat.
Catatan kita untuk menengok Pilkada SBT, hanya berkaca kepada Parpol. Akibatnya, semua menoreh kemenangan kepada pasangan incumbent. Namun tidak kita sadari, kalau kuantitas parpol, tidak menjadi suara penentu.

Lalu! Kemana dan kepada siapa rakyat akan menaruh suaranya. Suara rakyat adalah suara alam. Suara alam yang menentukan maju mundurnya suatu daerah. Pilkada SBT jilid II ini, merupakan awal dari pra pembangunan di daerah hasil pemekaran Kabupaten Maluku Tengah tersebut. Yang akan menentukan daerah ini maju, adalah rakyat, bukan oknum yang mengaku pimpinan pasca Pilkada. Pilkada hanya alat, untuk menentukan eksistensi pemahaman masyarakat terhadap desain sistem politik bangsa, dalam mencapai negara demokrasi. Tanpa Pilkadapun, bangsa sudah mencatat dalam memory prakemerdekaan, bahwa negara ini menganut asas pancasila. Asas Pancasila yang mengandung nilai-nilai demokrasi.

Nilai demokrasi pancasila, hanya bisa diamanatkan kepada orang yang berasal dari rakyat. Orang yang dekat dan bekerja di atas terik matahari, makan dan bersilah dengan rakyat di atas bumi. Bukan seseorang atau kelompok yang berambisi untuk menjadi pemimpin. Karena, menjadi pemimpin bukanlah takhta untuk mengangkat derajat, harkat dan martabat seseorang. Tapi pemimpin, adalah amanat, yang kelak akan dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Hanya tinggal menghitung hari, warga SBT akan melihat nasib daerah mereka, untuk periode pembangunan lima tahun mendatang. Salah memilih calon pemimpin, maka akan salah selama lima tahun dalam pembangunan. Kesalahan dan kebenaran tidak bisa dipastikan oleh manusia. Tapi, naluri manusia ditakdirkan untuk bisa memfilter setiap keputusan yang hendak diambilnya. Memilih pemimpin yang baik, tidak ditentukan dengan nilai. Tapi memilih orang yang akan kita percayai sebagai pemimpin, dan siap membawa aspirasi masyarakat, akan ditentukan oleh nurani.

Memilih pemimpin tidak ditentukan dalam satu dua massa. Tapi satu menit berada di dalam kotak suara, adalah keputusan yang akan disesalkan selama 60 puluh minggu, 420 hari, 10,080 jam, bila pemimpin yang kita pilih meleset. Hari Senin 19 Juli ini, merupakan momentun sejarah rakyat SBT pasca pemilihan kepala daerah. Kemenangan sudah berpihak kepada siapa yang akan menjadi pemimpin. Perbedaan suara sungguh tidak jauh berbeda. Perbedaan ini jangan sampai menjadi silah kehidupan masyarakat SBT, yang dikenal dengan budayanya begitu kokoh. Bila menghendaki SBT dalam kemajuan, maka siapapun pemimpinnya yang sudah dipilih pada Pilkada kemarin, harus diterima secara demokrasi. Itu artinya, pembangunan lima tahun SBT pasca ditetapkan seorang Bupati Defenitif, mutlak ada di tangan rakyat. ****