Minggu, 07 April 2013

Uang Menguasai Pilihan

Memilih Pimpinan di Gerbang Nurani, Bukan Nurani di Gerbang Uang

Mencari popularitas adalah hak setiap orang. Apalagi demi kepentingan pribadi dan membesarkan kelompoknya. Karena, dengan popularitas seseorang bisa menggenggam dunia. Perkembangan zaman kian terus terjadi. Namun, seiring perkembangan zaman itu uang masih tetap memiliki peran utama sebagai penguasa. Bahkan uang begitu bernilai bagi setiap penguasa. Untuk mendapatkan kepuasan, uang kerap memiliki peran utama.
Tak harus jauh-jauh membuka lembaran sejarah, cukup melihat kondisi kekinian di Maluku, uang masih menjadi raja. Uang menjadi penguasa di negeri para raja ini. Hampir pada setiap moment, uang menjadi simbol dan lambang untuk kesuksesakan setiap kegiatan. Lebih-lebih kalau kegiatan itu melibatkan para penguasa. Karena, uang memang sedang bersarang di kantong penguasa. Uang seolah menjadi pemegang kendali bagi setiap keputusan di negeri payah ini. Negeri ini tak lagi dihargai dengan prinsif kemanusiaan, tapi berprinsifkan uang. Bahkan ada ungkapan, kalau anda tak punya uang sebaiknya kuburkan saja keinginan anda untuk menjadi penguasa. Seolah alam sedang mengingatkan kita, bahwa sifat fana manusia tak lagi memiliki fungsi sebagai pimpinan. Karena semua pimpinan rupanya bisa dibayar.
Kalau anda menyimak dengan baik proses Pilkada di Maluku, maka nurani rakyat tak begitu penting. Karena nurani rakyat bisa dibeli hanya dengan sehelai lembar bertuliskan rupiah. Entah berapa nilainya, tapi masyarakat Maluku kian hari terperangkap dalam manifest keuangan. Siapa yang memulai lakon belanja suara rakyat. Aturan dan lembaga yang dibentuk dengan keuangan negara, juga tumpul larasnya ketika harus menyalipkan potongan riil dari proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) Maluku. Hanya menghitung waktu, masyarakat akan berpesta pada Pilkada Maluku. Seiring berputarnya waktu itu, masyarakat kian hari diserang dengan kepentingan hanya berjaskan duit.
Seolah-olah masyarakat diajak untuk mengikuti ritual tahlilan. Dimana, sekembali dari lokasi tahlilan, ada amplop yang diberikan oleh pemilik acara ritual itu. Bukan hendak menyamakan, tapi politik di Maluku serasa sedang demam. Para politikus di daerah ini sedang diradang sakit. Karenanya, mereka tak berkuasa untuk menarik empati masyarakat, kecuali dengan cara menggadaikan diri pada level rupiah. Uang menjadi nilai bagi pandangan dan pilihan. Bahkan, uang juga mulai dibenarkan oleh masyarakat politikus di Maluku. Hampir semua kalangan tak sepakat suara rakyat harus dibayar dengan uang. Tapi, kenyataannya para pemain catur politik itu justru riuh dengan isi kantong mereka.
Petinggi dan penguasa yang ikut bertarung di gelanggang Pilkada Maluku tak cukup menyiapkan mental menghadapi perilaku corak pemilih. Karena cukup menyiapkan uang, pesta demokrasi ini dapat digenggam. Rupanya, semua harga pesta demokrasi di daerah ini bernilaikan duit. Kalau bukan duit, maka pestanya tak akan meriah. Pilkada bernilai rupiah. Rupanya pesta pemuda dalam Musyawarah Daerah (Musda) KNPI Maluku juga digiring oleh kaum borjuis. Alhasil, hutang kini melilit para panitia atas nama Musda KNPI Maluku. Mungkinkan karakter berduit ini sudah merusak generasi penerus bangsa. Kalau generasi muda sudah dibayar, bagaimana dengan generasi tua, yang hampir dasawarsanya kian tenggelam. Memang, pemuda pemiliki rentan kendali yang mawas untuk melanjutkan estafet petua. Namun, ketika pemuda masih bergelimang dalam barah duit, maka sudah dapat dipastikan bahwa politik kepemudaan akan rapuh dimakan masa.
Thomas Carlyle, menegaskan, barang siapa memiliki uang satu sen maka ia berdaulat atas seluruh manusia; memerintah para juru masak agar menyajikan santapan baginya, memerintah para bijak-cendekia untuk memberinya pelajaran, memerintah para raja untuk menjaganya-sejauh satu sen.
Itulah gambaran dari kuasa uang. Uang yang diciptakan sebagai alat, ternyata mempunyai kuasa atas manusia, kelompok atau pemerintah yang menciptakannya. Kuasa itu adalah nilai dari uang itu sendiri. Kuasa yang lahir atas penilaian dan penggunaannya. Sungguh menjadi persoalan ketika uang yang awalnya menjadi instrument untuk kemudahan dalam perdagangan, lambat laun bergerak secara pasti berubah menjadi tujuan. Tujuan yang dikehendaki oleh pemilik uang. Kuasa atas uang yang dimiliki oleh seseorang mampu menjadikan dirinya seolah-olah menjadi “penguasa” atas orang lain, meskipun posisi ia sebenarnya sebagai tersangka dan dipenjara sekalipun.
Di tengah gencarnya pemberitaan terhadap kasus yang melibatkan pejabat dan para pemegang kekuasaan di negara ini, meskipun berangkat dari program, rencana, keinginan, gagasan dan harapan yang berbeda, tetapi mempunyai titik klimaks yang sama, yaitu pundi-pundi uang. Kasus demi kasus yang menyeruak ke permukaan adalah bentuk pengungkapan keberadaan uang yang diselengwengkan, disalangfungsikan, dikorupsi oleh orang-orang yang diamanahi untuk mempergunakannya sesuai dengan tujuan awalnya. Kendati dengan pengawasan yang ketat, nyatanya bentuk penyuapan, penyogokan, money politik menjadi ajang rutinitas. Adanya indikasi ke arah penggunaan uang yang tidak pada jalur yang semestinya, membuktikan bahwa uang itu sendiri telah mengalami pergeseran makna oleh manusia yang menciptakannya sendiri. Bahkan, uang tak lagi seperti arang pasca kayunya dibakar. Arang kayu lebih bermakna ketimbang kayunya yang menimbulkan api bagi masaknya lauk. Arang lebih dikenal daripada kayu. Padahal, keberadaan arang, bersumber dari kayu.
Pada awalnya manusia memakai uang untuk mempermudah dalam memenuhi kebutuhan hidup. Setelah dirasa adanya kesusahan dalam sistem barter. Selain itu, proses rasionalisasi yang menggejala pada masyarakat modern, menjadikan uang itu mempunyai peran dan fungsi yang melebihi kapasitasnya sebagai alat. Adanya pergeseran peran dan fungsi uang tidak lain adalah besarnya nilai yang terkandung dari uang. Satu sen, satu rupiah, satu juta, satu milyar, satu triliun adalah nilai uang. Nilai intrisik dan nilai nominal dalam setiap koin atau lembar uang menghadirkan kuasa yang berbeda, seperti uangkapan di atas. Namun kuasa itu sejatinya adalah sama, yaitu “menundukkan yang lain”.
Begitu hebat yang namanya uang, sehingga menimbulkan semacam kewajaran dalam kehidupan, bahwa uang mempunyai posisi yang penting. Tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan material semata, tetapi mampu memenuhi keinginan di luar yang dibayangkan. Semakin besar kebutuhan yang harus dipenuhi, menjadikan tiap orang akan memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut. Bekerja, meminta, meminjam, menipu, mencopet, merampok, merampas dan cara yang lain-lainnya adalah bentuk dari menghadirkan uang di tangan untuk segera dipergunakan sesuai dengan keinginan maupun kebutuhan. Begitulah yang sering terjadi, orang bekerja siang malam, meminta kepada orang tua atau orang lain, mencopet di pasar, di angkot, menipu melalui undian berhadiah, merampok brangkas uang, mesin ATM, merampas tas, dompet, bahkan berjudi lewat putusan politik. Kenyataan ini adalah kuasa uang yang menjadikan orang berbuat demikian, kuasa untuk menjadikan time is money atau bahkan karena time is gold. Uang bahkan bisa menjadi pedang yang dihulus oleh pemiliknya, kalau tidak dikuasai secara baik.
Sedianya, uang bukan benda yang paling berarti. Toh, realitas menyebutkan uang sangat berarti. Dengan uang, semua kuasa dapat dipenuhi. Bahkan, menjadi gubernur Maluku harus diawali dengan pondasi uang. Lalu, kalau demikian kapankah uang itu dihentikan dalam sendi-sendi alibi manusia. Harusnya, manusia yang menundukkan uang, tapi kenyataannya uang menundukkan sifat pena manusia. Uang telah melebih kukuasaan manusia, hingga asal manusia saja dilupakan. Semua karena uang.
Dalam proses mencari dan mengumpulkan uang dapat dijumpai terjadi ketidakadilan, hingga memunculkan segala cara untuk memperolehnya. Proses ini menandakan bahwa uang masih menjadi penentu dalam kehidupan. Sedangkan manusia yang menciptakan uang itu sendiri dikuasai oleh power of money. Uang diciptakan untuk keadilan dalam kehidupan, menjadi sebatas alat, bukan sebagai tujuan, bukan pula untuk kearogansian sang pemilik. Kenyataannya, uang menokhodai setiap pemiliknya. Siapa yang punya uang, ia akan menjadi penguasa.
Seolah-olah uang adalah benda yang hidup. Karena uang menghidupkan. Padahal, ada nilai yang tak bisa dibayar dengan uang. Sebut misalnya, nyawa manusia tak bisa dibayar dengan uang. Maut ketika sudah tiba, maka uang tak berarti. Panjangnya tulisan, mengingatkan kita bahwa uang saat ini telah merusak makhkota manusia. Uang menjadikan orang kerap hidup dalam fotokopy. Karena uang, laku manusia tak lagi berparas keaslian. Hanya fotokopy yang dipakai untuk menjalankan hidupnya. Penipuan dan saling serang terjadi dimana-mana hanya karena untuk perebutan jabatan. Padahal, jabatan direbut hanya untuk mengumpulkan uang. Pangkalnya apa, sebenarnya sampai semua orang tunduk kepada kuasa uang. Padahal, uang hanyalah benda kecil dan semakin dibuat kecil.
Padahal, kenyataannya uang bukanlah sumber segala kebahagiaan. Toh, uang masih tetap menjadi penguasa dan pemegang kendali di setiap putusan dan kebijakan. Sudah saatnya kita menyatakan uang dipakai sebagai nilai yang hanya untuk membayar, bukan untuk menguasai. Selama ini, uang masih kita jadikan sebagai benda untuk menguasai. Apalagi saat menjelang moment seperti Pilkada. Pembayaran nurani manusia dengan nilai uang sudah saatnya dihentikan. Sudah saatnya masyarakat Maluku memilih pimpinan lewat nurani tanpa bayar. Karena, setiap pimpinan yang dipilih lewat nurani, akan mudah ditegur, dan diingatkan. Ia akan lebih peduli karena terpanggil untuk suara yang menunjuknya. Kalau dipilih dengan uang, maka ketika pimpinan duduk di tampuk kepemimpinannya, ia akan menyikapi setiap putusannya dengan uang. Tanpa uang, kepemimpinanya terjamin akan berjalan pincang, bahkan membalelo dari kepentingan rakyatnya. Bukan rakyat yang mengingatkan pemimpin, tapi pimpinan yang menginginkan rakyat. Kalau mau diingat pemimpin, maka pilihlah dia lewat ingatan nurani, bukan ingatan bayaran. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar