Sholat mengalir di setiap pekerjaanku. Sholat
mengalir di setiap awal niatku. Bersama sholat, aku mulai segala aktifitas. Sadar,
sebagai makhluk yang tak memiliki daya kecuali dengan rohnya Allah SWT, aku
bisa melaksanakan seluruh kegiatanku. Setiap hari, aku hanya menyisipkan
beberapa menit untuk mengerjakan sholat. Padahal, sholat sesungguhnya tak hanya
menjadi ibadah wajib bagiku, tapi lebih dari itu. Lewat perantaraan Sholatlah,
aku bisa mengenal seisi dunia dengan baik dan sadar. Bahwa sesungguhnya, dengan
sholat, aku mampu menuntun jalanku menuju penerangan.
Langkah
kaki menjadi ringan, kala wajahku terbasuh dengan air wudhu, lalu kemudian aku
lanjutkan dengan mengerjakan sholat. Seusai sholat, rasanya tak ada yang sulit,
dan juga tak ada yang rumit, untuk aku fikirkan dan kerjakan. Bagaimana tidak,
sehabis mengerjakan sholat, fikiranku menjadi ringan sekalipun awalnya sangat
terbeban.
Baru
sehari aku lewati, ketika tak mengerjakan sholat, bayangan selalu menghantui
kalau aku tergolong makhluk yang rugi, dan tak mendapatkan apa-apa dari waktu
yang sudah aku lewatkan selama kurang lebih dari 24 jam. Padahal, sholat sama
sekali tak membebankan diri, namun pada kenyataannya, sangat sulit dikerjakan.
Wajibnya
sholat, mencakup Isya empat rakaat, Shubhu dua rakaat, Dzhuhur empat rakaat,
Ashar empat rakaat, dan Magrib tiga rakaat. Praktek sholat seolah sangat berat,
kendati secara sadar tidak memberatkan. Namun ketika hendak mengerjakan sholat,
serasa sangat sulit dikerjakan. Bayangan sulitnya mengerjakan sholat, selalu menghampiri
saya ketika datangnya waktu sholat. Terkadang, aku keasyikan diskusi, cerita,
dan bahkan juga akibat sibuk kerja, sholat seolah menjadi beban.
Padahal,
aku seolah lupa kalau waktu yang digunakan untuk mengerjakan sholat, hanya
paling tinggi untuk sholat Isya, Dzhuhur dan Ashar 15 menit. Sementara untuk
Magrib, yang tiga rakaat, paling hanya memakan waktu kurang lebih 10 menit.
Sisanya untuk sholat Shubhu, hanya 5 menit. Kalau benar hanya waktu ini yang
kita pakai untuk sholat, maka dalam sehari untuk mengerjakan sholat lima waktu,
hanya membutuhkan 30 menit, namun pada prakteknya, betapa sulit mengerjakan
sholat bagi kita.
Padahal,
secara sadar, sholat tampak mudah dikerjakan, namun ketika sudah datangnya
waktu sholat, serasa sekali kalau sholat justru paling sulit dikerjakan.
Sementara kita justru sering lalai dan hanyut dalam mengerjakan usaha yang
bukan sholat, lebih dari tempo 30 menit. Bahkan pekerjaan tersebut, sekalipun
secara sadar, ia sangat sulit.
Cerita
atau diskusi di rumah kopi, belajar yang memakan waktu lebih dari 45 menit di
ruang kelas, bermain bola bahkan lebih dari tiga jam, dan juga duduk
berkelompok sambil bernyanyi-nyanyi, rasanya jauh memakan waktu kita. Semua
itu, rasanya sudah menyita waktu, namun tak terasa kalau ia memberatkan kita.
Sementara sholat yang hanya 30 menit, seolah-olah membuat kita serasa
memberatkan.
Sedari
ini, ternyata sholat memang belum dimaknai oleh kita secara lahir dan bathin.
Sholat membutuhkan konsentrasi diri tak hanya secara jasad saja, melainkan
dibutukan konsentrasi lahiriyah. Karena ketika seseorang yang mengerjakan
sholat hanya dengan menghadirkan jasadnya, maka ia tidak mendapatkan kemanisan
dari sholat yang ia kerjakan. Saya tidak hendak menghakimi orang-orang atau
saya sendiri yang tidak sholat, melainkan saya ingin menempatkan sholat pada
posisinya, agar kita mampu melakukan sholat itu, tak hanya sebatas pekerjaan
jasadiyah, melainkan lebih dari itu.
Anggap
saja, ketika mengerjakan sholat hanya untuk kebutuhan mengisi perintah Allah
SWT dan ajaran Nabi Muhammad SAW, maka sholat boleh jadi hanya kita kerjakan
secara terburu-buru, dan itu terkadang hanya dikerjakan wajibnya saja.
Sementara, praktek sholat, merupakan perintah Rasulullah SAW, yang menjadi
tugas utama makhluk manusia yang meyakini dirinya beragama Rasulullah SAW.
Banyak
praktek kita pada sholat, hanya mengerjakan wajibnya, sementara sunnat, kerap
kita abaikan, seolah-olah sunnat tak begitu penting. Padahal, dua rangkaian
antara wajib dan sunnat, merupakan pasangan kekasih yang apabila dipisahkan,
maka ada yang merasa kehilangan. kalau serasa ada yang hilang, maka pantaslah
kita selalu menjadi risau, ketika selesai sholat wajibnya saja.
Alasan
ini, memang tak rasio bagi kawan-kawan yang faham akan ajaran kebenaran, atau
yang justru sekali kali mengerjaka sholat bahkan tak mengabaikannya sedikitpun.
Namun, bukankah ketika seseorang terpisah dari kekasihnya, ia merasa
seolah-olah hidupnya tak berarti. Lalu, kalau demikian, maukah kita
meninggalkan sholat sunnat, yang merupakan pasangan utama dari wajib.
Mungkin
benar, bagi kita, mengerjakan wajibnya saja, karena terburu-buru untuk
mengerjakan suatu hajat, yang selebih penting dibandingkan harus berlama-lama
di dalam sholat. Atau ada alasan lain, di luar penjelasan tersebut di atas,
semuanya memang berada pada alibi dan nisbinya manusia selaku makhluk sosial.
Manusia
memang, merupakan hewan yang berakal, dan juga sekaligus hewan yang tak pernah
puas. Wajar saja, kalau kepuasan itu selalu menghampiri kita, jikalah kita
mengerjakan sesuatu selalu terburu-buru. Sadar atau tidak, sholat merupakan
prioritas kelangsungan gerakan bathiniyah seseorang. Alasannya, ketika
seseorang selalu mengabaikan sholat, maka ia akan terlena dengan segala
kebutuhan yang datang silih berganti.
Bukan
maksud menjelaskan betapa pentingnya mengerjakan sholat bagi seorang manusia,
yang meyakini kebenaran ajaran agama Islam, melainkan hanya sebagai catatan
ritual, atas apa yang sudah menghampiri hidupku.
Selama
ini, secara sadar, aku meyakini sholat itu merupakan perintah wajib dari Allah
SWT, yang harus dikerjakan dan tidak boleh diabaikan. Namun pada prakteknya,
sulit rasanya mengerjakan sholat wajib.
Suatu
ketika, aku hadir memberikan materi dalam hajat suatu organisasi di lingkungan
terdekatku. Ketika aku datang dengan maksud memberikan materi sesuai dengan
permintaan panitia, aku merasakan adanya kekurangan yang ada dalam diriku.
Namun sebagai tanggungjawab, aku tetap berusaha menyampaikan sesuai dengan
kemampuan dan pengalaman yang sudah aku dapatkan. Sehari setelah aku memberikan
materi kepada para peserta, aku kembali hadir ke arena kegiatan tersebut. Lewat
diskusi diri, aku kemudian memutuskan untuk kembali melanjutkan materi, yang
biasanya aku bawa dalam hajatan itu.
Aku
merasakan ada keanehan, ketika aku melihat adik-adik peserta, seolah gelisah
dan tak puas dengan apa yang sudah mereka dapatkan sebelum aku. Lalu, mulai aku
giring mereka kepada alur berfikirku. Sesaat sebelum memberikan materi, aku
mengawali diskusi dengan bahasa santai, “homsuwaste-salam sejahtera dan selamat
malam”. Aku sadar dengan apa yang barusan kuucapkan. Setengah perjalanan
diskui, alur berfikir dan gaya bicaraku yang kerap memuncak, mulai berputar
arah kepada tujuan utama diskusi dan bertemu dengan adik-adik.
Panjang
ceritanya, karena terhitung sejak aku diskusi dengan mereka pada Pukul 22.00
WIT, aku baru masuk kepada diskusi intinya sekira Pukul 03.00 WIT. Kurang lebih
satu jam, sebelum Pukul 04.30 WIT untuk bubarkan diri, aku banyak mengingatkan
mereka, tentang sholat. Walau sebenarnya, aku secara jujur dan sadar telah
menyampaikan kepada adik-adikku, kalau aku merupakan orang yang paling malas
mengerjakan sholat. Entah mengapa, tapi memang itulah benarnya.
Aku
termasuk golongan makhluk yang namanya manusia, yang paling malas mengerjakan
sholat, dan anehnya, kemalasan itu baru menghampiri hidupku, ketika aku
mengenal bebasnya dunia pergaulan. Padahal, sedari awal, justru lewat
sholatlah, karakterku terbentuk.
Bahkan,
ketika aku tak mengerjakan sholat satu waktupun, saat masih sekolah hingga
semester lima, rasa sakit dan pening kepala langsung menghampiriku. Anehnya,
sekarang justru terbalik dan aku tergolong manusia yang paling sulit
mengerjakan sholat.
Pendidikan
tentang sholat, bagiku untuk disampaikan kepada seseorang, sangatlah penting.
Karena sebenarnya, lewat sholatlah manusia membentuk karakternya. Apakah ia
menjadi buruk, ataukah menjadi jahat, atau boleh jadi menjadi baik, dan hanya
dirinya yang mengetahui itu. Hanya dengan mengerjakan sholat. Lalu
pertanyaannya, bagaimana dengan orang yang mengerjakan sholat setiap saat, tapi
banyak melakukan atau menciptakan kejahatan. Tentu, akan timbul pertanyaan
tersebut bagi mereka yang gelisah akan ajaran kebenaran yang diyakini. Pada
dasarnya, aku juga sadar dengan perbuatan mereka, tapi begitulah manusia, kalau
tidak seperti itu, maka bukan namanya manusia.
Bukannya
ingin menggurui, tapi sepertinya, harus mereka menyadari kembali kalau sholat
yang dikerjakan pasti ada yang salah. Bagaimana tidak, seseorang tidak mungkin
berbuat jahat, kasar, atau membunuh, apabila ia benar-benar mengerjakan sholat.
Lalu yang kamu maksudkan dengan benar-benar sholat itu seperti apa, apakah
dengan mendatangi masjid, dan mengerjakan sholat berjamaah, ataukah dengan
setiap saat mengerjakan sholat. Bukan saya ingin bilang tidak, penilai semuanya
dikembalikan kepada siapa yang hendak memberikan nilai itu. Bagi saya,
memberikan nilai tak ada artinya, karena nilai yang kita berikan, sama sekali
tidak berarti.
Contoh
kecil, ketika kita memberikan nilai bahwa seseorang tidak sholat, maka ia akan
masuk neraka, ia akan berbuat onar, dan ia akan terlihat kasar. Sadarkah kita
dengan pernyataan atau penilaian tersebut. Kalau kita sadar, pasti kita tidak
mungkin memberikan penilaian kepada seseorang, bila penilaian tidak kita awali
dengan menilai diri sendiri.
Inilah
yang sebenarnya saya maksudkan dengan sholat. Seseorang yang mengerjakan sholat
dengan baik, maka tak ada ruang baginya, untuk memberikan nilai kepada orang
lain. Karena, sholat tak membentuk nilai kepada sisholat, tapi sholat justru
seolah mengembalikan kepada kita bahwa betapa tak mampunya manusia ini di
hadapan siapapun. Betapa hinanya manusia di hadapan siapapun. Sholat, bagi saya
yang sebenarnya adalah, mengerjakan wajibnya dan juga sunnahnya. Itu artinya,
tak ada sholat sunnat bagi seseorang yang benar-benar mengerjakan sholat. Sunnat
menjadi wajib, dan wajib menjadi lebih berwajib lagi. Kita pasti bingung dan
bertanya akan pernyataan barusan. Tapi itulah kenyataan yang akan kita jumpai,
kalau sholat sudah dimaknai secara jasadiyah dan rohaniyah.
Alasan
ini sudah saya kemukakan di awal tulisan, namun sebagai pelupa, saya akan
kembali mengingatkan, bahwa sholat wajib selayaknya dikerjakan dan sunnahnya
harus sebagai pengikut yang wajib pula. Karena, ketika kita memisahkan antara
wajib saja, maka sama artinya kita hendak memisahkan kekasih yang kita cintai.
Maka sebagai pasangan kekasih, yang setiap saat memadu kasihnya, sangat
langcang kalau harus kita pisahkan.
Apabila
harus mengingat-ingat, maka marilah kita membasuh diri untuk mengerjakan sholat
wajib, dan tak mengabaikan sunnatnya, sekalipun kita dikejar oleh waktu.
Karena, sesungguhnya sholat adalah waktu. Sholatlah yang menentukan adanya
waktu. Apabila mengabaikan waktu, sama artinya mengabaikan sholat.
Nah,
untuk sholat, wajib dan sunnatnya harus dikerjalan dan tidak boleh dipisahkan
apabila engkau menghendaki kemanisan dari shalat itu. Karena, dengan tidak
mengabaikan sholat wajib dan sunnat, sama artinya engkau selalu mengikatkan
hubungan asmara antara pemilik wajib dan pemilik sunnat itu. Lancangnya kita,
wajib dan sunnat selalu kita pisahkan. Wajar saja, kalau kita lebih terlena
dengan mengabaikan pekerjaan sosial duniawi, karena tak ada lagi jiwa
kasih-sayang di dalam diri kita, karena sholat wajib dan sunnat saja sudah kita
pisahkan.
Penggalan
tulisan di atas, untuk mengingatkan kita selaku manusia yang wajib mengerjakan
sholat, bahwa sholat wajib dan sunnat kalau dikerjakan seirama, maka hidup
manusia akan jauh dari pekerjaaan-pekerjaan jahiliyah. Alasannya, hidup itu
hanya terhias dengan ibadah yang ditimbulkan pada kerajaan sholat. Karena, di
dalam sehari yang memiliki irama waktu kurang lebih 24 jam, manusia muslim,
memiliki waktu yang banyak untuk mengerjakan sholat.
Perintah
sholat, yang terstruktur di dalam lima waktu, dimulai dengan sunnah, dan juga
diakhiri dengan sunnah. Sunnah sesungguhnya merupakan symbol utama untuk
seseorang mengerjakan sholat secara baik. Sholat sunnah, justru akan
mengajarkan seseorang untuk disiplin waktu, dan taat terhadap perintah atasan.
Bahkan, sunnah mengingatkan seseorang untuk tidak mengabaikan tugas dan
tanggungjawabnya.
Berikut
ini adalah struktur mengikat jiwa dengan sholat. Wajib dan sunnah harus
diletakkan seirama, dan tidak boleh dipisahkan. Karena kalau memisahkannya,
sama artinya kita menginginkan agar tindakan kita selalu malas-malasan, dan
juga alfa, dan bahkan, selebihnya kita akan kalah sebelum bertarung.
Pertautan
antara sholat wajib dengan sholat sunnat, harusnya dibalik. Bukan sholat wajib
baru sunnat, tapi sunnat baru wajib. Sama artinya, ketika seseorang tampil
menjadi moderator, sebagai pembicara, ia awali dengan mukaddimah. Mukaddimah
ini yang kemudian saya maksudkan sebagai sunnat. Asumsi dasarnya, ketika
mengerjakan sholat wajib yang diawali dengan mengerjakan sholat sunnat, maka
seseorang akan lebih mengenal sholat wajib. Sehingga ketika mengerjakan sholat
wajib, ia akan mendapatkan kemanisan dari sholat itu. Rasa ragu dan beban,
semuanya akan terkikis karena sholat dikerjakan secara terstruktur, yang
diawali dengan sunnahnya, dikerjakan wajibnya, kemudian diahkiri pula dengan
sunnahnya.
Untuk
mendapatkan kemanisan dari sholat, maka sholat harus dikerjakan secara utuh. Kata
Ibnu Kastier dalam tafsirnya; menurut kata Ibnu Abbas, artinya
mendirikan sembahyang ialah mengerjakan segala fardhu-fardhunya. Diterangkan
pula oleh Adl-Dlahhak, bahwa Ibnu ‘Abbas berkata, “Mendirikan sembahyang ialah
menyempurnakan ruku’ sudjud, tilawah (bacaan) dan khusyu”. Kata Qatadah,
mendirikan sembahyang ialah, memelihara segala waktunya, wudhunya, sudjudnya,
dan segala rukun-rukunnya.
Kalau
ketiga ta’rif (definisi) ini digabungkan, maka arti mendirikan sembahyang ialah
: Memelihara waktu-waktunya, menyempurnakan wudhunya dan melaksanakannya dengan
sempurna-sempurnanya, sempurna diri, sempurna ruku’, sempurna i’tidal, sempurna
sudjud, sempurna duduk antara dua sujud, sempurna duduk tasyahhud, sempurna
zikir, sempurna do’a, sempurna khusyu, sempurna penyerahan hati, sempurna takut
dan sempurna segala adabnya.
Pernyataan
tersebut di atas, menjelaskan kepada kita bahwa mendirikan sembahyang ialah
melaksanakan roh dan hakikat shalat dalam rupanya yang sempurna, agar mendapati
dan dicapai hikmah dan rahasianya. Apabila salah satunya tidak diperoleh, maka
tidak ada hasilnya dari sembahyang itu. Sederhananya, bahwa mendirikan sesuatu
memiliki makna mengerjakan sesuatu dengan sempurna dan sebaik-baiknya, karena ada
tujuan dan maksudnya yang hendak dicapai.
Ringkasnya,
mendirikan sembahyang ialah melaksanakan sembahyang dengan sebaik-baiknya dan
sesempurnanya atau mewujudkan roh sembahyang dan hakikatnya dalam rupah lahir
yang sempurna, serta mengwujudkan bekasan-bekasannya sesudah sembahyang. Yaitu
mengwujudkan hikmat yang diperintahkan sembahyang karenanya.
Kata
As Saiyid Rasyid Ridlaa; mendirikan sembahyang ialah melaksanakan dengan
sebaik-baiknya dengan cara yang paling sempurna, yaitu bangun manusia kepada
sembahyang, didorong oleh rasa kebesaran Allah dan kemuliaan-Nya, lalu
menunaikan dengan khusyu kepada Allah.
Kata
Al Ustadz Abdul Aziz Al Chuly; Dikehendaki dari mendirikan sembahyang,
melaksanakannya dengan sebaik-baiknya serta berkhusyu di dalamnya, memikirkan
segala maknanya, dan mengingat akan Allah, bahwa sembahyang itu didirikannya
untuk Allah SWT.
Tuhan
telah memerintahkan kita untuk mendirikan sembahyang, bukan bersembahyang.
Maka seseorang yang mengerjakan sembahyang menurut hakekat yang telah
ditentukan, tetapi kosong dari maknanya, yakni tiada berjiwa yang wajib ada
beserta tubuh sembahyang itu, dikatakan kepadanya: IA BERSEMBAHYANG, bukan
MENDIRIKAN SEMBAHYANG. Ia mendirikan sembahyang, hanya ketika ia melaksanakan
sembahyang itu menurut hakekat yang telah diterangkan syari’ dengan
sebaik-baiknya, dengan diserta khusyu serta memahamkan makna, dan
sungguh-sungguh memperlihatkan kehajatan diri kepada Allah dan berikhlas
kepadanya. Diketika ini, barulah ia dipandang mendirikan sembahyang. Sedemikianlah
kita diperintahkan dan dengan begitulah berwujud yang diperintahkan itu.
(BERSAMBUNG)
ya Allah,, tulisannya mengalir,,, satu referensi baru bagi umat muslim.....
BalasHapuskembangkanterus abang,, dan ade rekomendsikan abang jadi ustat jua...
Mantap e...........kunjungi juga bioreference.blogspot.com
BalasHapusterima kasih bro...salam
Hapuswww.bioreference.blogspot.com
BalasHapus