Rabu, 20 Maret 2013

Bersama Sholat Aku Mengenal Tuhan


Sholat mengalir di setiap pekerjaanku. Sholat mengalir di setiap awal niatku. Bersama sholat, aku mulai segala aktifitas. Sadar, sebagai makhluk yang tak memiliki daya kecuali dengan rohnya Allah SWT, aku bisa melaksanakan seluruh kegiatanku. Setiap hari, aku hanya menyisipkan beberapa menit untuk mengerjakan sholat. Padahal, sholat sesungguhnya tak hanya menjadi ibadah wajib bagiku, tapi lebih dari itu. Lewat perantaraan Sholatlah, aku bisa mengenal seisi dunia dengan baik dan sadar. Bahwa sesungguhnya, dengan sholat, aku mampu menuntun jalanku menuju penerangan.
Langkah kaki menjadi ringan, kala wajahku terbasuh dengan air wudhu, lalu kemudian aku lanjutkan dengan mengerjakan sholat. Seusai sholat, rasanya tak ada yang sulit, dan juga tak ada yang rumit, untuk aku fikirkan dan kerjakan. Bagaimana tidak, sehabis mengerjakan sholat, fikiranku menjadi ringan sekalipun awalnya sangat terbeban.
Baru sehari aku lewati, ketika tak mengerjakan sholat, bayangan selalu menghantui kalau aku tergolong makhluk yang rugi, dan tak mendapatkan apa-apa dari waktu yang sudah aku lewatkan selama kurang lebih dari 24 jam. Padahal, sholat sama sekali tak membebankan diri, namun pada kenyataannya, sangat sulit dikerjakan.
Wajibnya sholat, mencakup Isya empat rakaat, Shubhu dua rakaat, Dzhuhur empat rakaat, Ashar empat rakaat, dan Magrib tiga rakaat. Praktek sholat seolah sangat berat, kendati secara sadar tidak memberatkan. Namun ketika hendak mengerjakan sholat, serasa sangat sulit dikerjakan. Bayangan sulitnya mengerjakan sholat, selalu menghampiri saya ketika datangnya waktu sholat. Terkadang, aku keasyikan diskusi, cerita, dan bahkan juga akibat sibuk kerja, sholat seolah menjadi beban.
Padahal, aku seolah lupa kalau waktu yang digunakan untuk mengerjakan sholat, hanya paling tinggi untuk sholat Isya, Dzhuhur dan Ashar 15 menit. Sementara untuk Magrib, yang tiga rakaat, paling hanya memakan waktu kurang lebih 10 menit. Sisanya untuk sholat Shubhu, hanya 5 menit. Kalau benar hanya waktu ini yang kita pakai untuk sholat, maka dalam sehari untuk mengerjakan sholat lima waktu, hanya membutuhkan 30 menit, namun pada prakteknya, betapa sulit mengerjakan sholat bagi kita.
Padahal, secara sadar, sholat tampak mudah dikerjakan, namun ketika sudah datangnya waktu sholat, serasa sekali kalau sholat justru paling sulit dikerjakan. Sementara kita justru sering lalai dan hanyut dalam mengerjakan usaha yang bukan sholat, lebih dari tempo 30 menit. Bahkan pekerjaan tersebut, sekalipun secara sadar, ia sangat sulit.
Cerita atau diskusi di rumah kopi, belajar yang memakan waktu lebih dari 45 menit di ruang kelas, bermain bola bahkan lebih dari tiga jam, dan juga duduk berkelompok sambil bernyanyi-nyanyi, rasanya jauh memakan waktu kita. Semua itu, rasanya sudah menyita waktu, namun tak terasa kalau ia memberatkan kita. Sementara sholat yang hanya 30 menit, seolah-olah membuat kita serasa memberatkan.
Sedari ini, ternyata sholat memang belum dimaknai oleh kita secara lahir dan bathin. Sholat membutuhkan konsentrasi diri tak hanya secara jasad saja, melainkan dibutukan konsentrasi lahiriyah. Karena ketika seseorang yang mengerjakan sholat hanya dengan menghadirkan jasadnya, maka ia tidak mendapatkan kemanisan dari sholat yang ia kerjakan. Saya tidak hendak menghakimi orang-orang atau saya sendiri yang tidak sholat, melainkan saya ingin menempatkan sholat pada posisinya, agar kita mampu melakukan sholat itu, tak hanya sebatas pekerjaan jasadiyah, melainkan lebih dari itu.
Anggap saja, ketika mengerjakan sholat hanya untuk kebutuhan mengisi perintah Allah SWT dan ajaran Nabi Muhammad SAW, maka sholat boleh jadi hanya kita kerjakan secara terburu-buru, dan itu terkadang hanya dikerjakan wajibnya saja. Sementara, praktek sholat, merupakan perintah Rasulullah SAW, yang menjadi tugas utama makhluk manusia yang meyakini dirinya beragama Rasulullah SAW.
Banyak praktek kita pada sholat, hanya mengerjakan wajibnya, sementara sunnat, kerap kita abaikan, seolah-olah sunnat tak begitu penting. Padahal, dua rangkaian antara wajib dan sunnat, merupakan pasangan kekasih yang apabila dipisahkan, maka ada yang merasa kehilangan. kalau serasa ada yang hilang, maka pantaslah kita selalu menjadi risau, ketika selesai sholat wajibnya saja.
Alasan ini, memang tak rasio bagi kawan-kawan yang faham akan ajaran kebenaran, atau yang justru sekali kali mengerjaka sholat bahkan tak mengabaikannya sedikitpun. Namun, bukankah ketika seseorang terpisah dari kekasihnya, ia merasa seolah-olah hidupnya tak berarti. Lalu, kalau demikian, maukah kita meninggalkan sholat sunnat, yang merupakan pasangan utama dari wajib.
Mungkin benar, bagi kita, mengerjakan wajibnya saja, karena terburu-buru untuk mengerjakan suatu hajat, yang selebih penting dibandingkan harus berlama-lama di dalam sholat. Atau ada alasan lain, di luar penjelasan tersebut di atas, semuanya memang berada pada alibi dan nisbinya manusia selaku makhluk sosial.
Manusia memang, merupakan hewan yang berakal, dan juga sekaligus hewan yang tak pernah puas. Wajar saja, kalau kepuasan itu selalu menghampiri kita, jikalah kita mengerjakan sesuatu selalu terburu-buru. Sadar atau tidak, sholat merupakan prioritas kelangsungan gerakan bathiniyah seseorang. Alasannya, ketika seseorang selalu mengabaikan sholat, maka ia akan terlena dengan segala kebutuhan yang datang silih berganti.
Bukan maksud menjelaskan betapa pentingnya mengerjakan sholat bagi seorang manusia, yang meyakini kebenaran ajaran agama Islam, melainkan hanya sebagai catatan ritual, atas apa yang sudah menghampiri hidupku.
Selama ini, secara sadar, aku meyakini sholat itu merupakan perintah wajib dari Allah SWT, yang harus dikerjakan dan tidak boleh diabaikan. Namun pada prakteknya, sulit rasanya mengerjakan sholat wajib.
Suatu ketika, aku hadir memberikan materi dalam hajat suatu organisasi di lingkungan terdekatku. Ketika aku datang dengan maksud memberikan materi sesuai dengan permintaan panitia, aku merasakan adanya kekurangan yang ada dalam diriku. Namun sebagai tanggungjawab, aku tetap berusaha menyampaikan sesuai dengan kemampuan dan pengalaman yang sudah aku dapatkan. Sehari setelah aku memberikan materi kepada para peserta, aku kembali hadir ke arena kegiatan tersebut. Lewat diskusi diri, aku kemudian memutuskan untuk kembali melanjutkan materi, yang biasanya aku bawa dalam hajatan itu.
Aku merasakan ada keanehan, ketika aku melihat adik-adik peserta, seolah gelisah dan tak puas dengan apa yang sudah mereka dapatkan sebelum aku. Lalu, mulai aku giring mereka kepada alur berfikirku. Sesaat sebelum memberikan materi, aku mengawali diskusi dengan bahasa santai, “homsuwaste-salam sejahtera dan selamat malam”. Aku sadar dengan apa yang barusan kuucapkan. Setengah perjalanan diskui, alur berfikir dan gaya bicaraku yang kerap memuncak, mulai berputar arah kepada tujuan utama diskusi dan bertemu dengan adik-adik.
Panjang ceritanya, karena terhitung sejak aku diskusi dengan mereka pada Pukul 22.00 WIT, aku baru masuk kepada diskusi intinya sekira Pukul 03.00 WIT. Kurang lebih satu jam, sebelum Pukul 04.30 WIT untuk bubarkan diri, aku banyak mengingatkan mereka, tentang sholat. Walau sebenarnya, aku secara jujur dan sadar telah menyampaikan kepada adik-adikku, kalau aku merupakan orang yang paling malas mengerjakan sholat. Entah mengapa, tapi memang itulah benarnya.
Aku termasuk golongan makhluk yang namanya manusia, yang paling malas mengerjakan sholat, dan anehnya, kemalasan itu baru menghampiri hidupku, ketika aku mengenal bebasnya dunia pergaulan. Padahal, sedari awal, justru lewat sholatlah, karakterku terbentuk.
Bahkan, ketika aku tak mengerjakan sholat satu waktupun, saat masih sekolah hingga semester lima, rasa sakit dan pening kepala langsung menghampiriku. Anehnya, sekarang justru terbalik dan aku tergolong manusia yang paling sulit mengerjakan sholat.
Pendidikan tentang sholat, bagiku untuk disampaikan kepada seseorang, sangatlah penting. Karena sebenarnya, lewat sholatlah manusia membentuk karakternya. Apakah ia menjadi buruk, ataukah menjadi jahat, atau boleh jadi menjadi baik, dan hanya dirinya yang mengetahui itu. Hanya dengan mengerjakan sholat. Lalu pertanyaannya, bagaimana dengan orang yang mengerjakan sholat setiap saat, tapi banyak melakukan atau menciptakan kejahatan. Tentu, akan timbul pertanyaan tersebut bagi mereka yang gelisah akan ajaran kebenaran yang diyakini. Pada dasarnya, aku juga sadar dengan perbuatan mereka, tapi begitulah manusia, kalau tidak seperti itu, maka bukan namanya manusia.
Bukannya ingin menggurui, tapi sepertinya, harus mereka menyadari kembali kalau sholat yang dikerjakan pasti ada yang salah. Bagaimana tidak, seseorang tidak mungkin berbuat jahat, kasar, atau membunuh, apabila ia benar-benar mengerjakan sholat. Lalu yang kamu maksudkan dengan benar-benar sholat itu seperti apa, apakah dengan mendatangi masjid, dan mengerjakan sholat berjamaah, ataukah dengan setiap saat mengerjakan sholat. Bukan saya ingin bilang tidak, penilai semuanya dikembalikan kepada siapa yang hendak memberikan nilai itu. Bagi saya, memberikan nilai tak ada artinya, karena nilai yang kita berikan, sama sekali tidak berarti.
Contoh kecil, ketika kita memberikan nilai bahwa seseorang tidak sholat, maka ia akan masuk neraka, ia akan berbuat onar, dan ia akan terlihat kasar. Sadarkah kita dengan pernyataan atau penilaian tersebut. Kalau kita sadar, pasti kita tidak mungkin memberikan penilaian kepada seseorang, bila penilaian tidak kita awali dengan menilai diri sendiri.
Inilah yang sebenarnya saya maksudkan dengan sholat. Seseorang yang mengerjakan sholat dengan baik, maka tak ada ruang baginya, untuk memberikan nilai kepada orang lain. Karena, sholat tak membentuk nilai kepada sisholat, tapi sholat justru seolah mengembalikan kepada kita bahwa betapa tak mampunya manusia ini di hadapan siapapun. Betapa hinanya manusia di hadapan siapapun. Sholat, bagi saya yang sebenarnya adalah, mengerjakan wajibnya dan juga sunnahnya. Itu artinya, tak ada sholat sunnat bagi seseorang yang benar-benar mengerjakan sholat. Sunnat menjadi wajib, dan wajib menjadi lebih berwajib lagi. Kita pasti bingung dan bertanya akan pernyataan barusan. Tapi itulah kenyataan yang akan kita jumpai, kalau sholat sudah dimaknai secara jasadiyah dan rohaniyah.  
Alasan ini sudah saya kemukakan di awal tulisan, namun sebagai pelupa, saya akan kembali mengingatkan, bahwa sholat wajib selayaknya dikerjakan dan sunnahnya harus sebagai pengikut yang wajib pula. Karena, ketika kita memisahkan antara wajib saja, maka sama artinya kita hendak memisahkan kekasih yang kita cintai. Maka sebagai pasangan kekasih, yang setiap saat memadu kasihnya, sangat langcang kalau harus kita pisahkan.
Apabila harus mengingat-ingat, maka marilah kita membasuh diri untuk mengerjakan sholat wajib, dan tak mengabaikan sunnatnya, sekalipun kita dikejar oleh waktu. Karena, sesungguhnya sholat adalah waktu. Sholatlah yang menentukan adanya waktu. Apabila mengabaikan waktu, sama artinya mengabaikan sholat.
Nah, untuk sholat, wajib dan sunnatnya harus dikerjalan dan tidak boleh dipisahkan apabila engkau menghendaki kemanisan dari shalat itu. Karena, dengan tidak mengabaikan sholat wajib dan sunnat, sama artinya engkau selalu mengikatkan hubungan asmara antara pemilik wajib dan pemilik sunnat itu. Lancangnya kita, wajib dan sunnat selalu kita pisahkan. Wajar saja, kalau kita lebih terlena dengan mengabaikan pekerjaan sosial duniawi, karena tak ada lagi jiwa kasih-sayang di dalam diri kita, karena sholat wajib dan sunnat saja sudah kita pisahkan.
Penggalan tulisan di atas, untuk mengingatkan kita selaku manusia yang wajib mengerjakan sholat, bahwa sholat wajib dan sunnat kalau dikerjakan seirama, maka hidup manusia akan jauh dari pekerjaaan-pekerjaan jahiliyah. Alasannya, hidup itu hanya terhias dengan ibadah yang ditimbulkan pada kerajaan sholat. Karena, di dalam sehari yang memiliki irama waktu kurang lebih 24 jam, manusia muslim, memiliki waktu yang banyak untuk mengerjakan sholat.
Perintah sholat, yang terstruktur di dalam lima waktu, dimulai dengan sunnah, dan juga diakhiri dengan sunnah. Sunnah sesungguhnya merupakan symbol utama untuk seseorang mengerjakan sholat secara baik. Sholat sunnah, justru akan mengajarkan seseorang untuk disiplin waktu, dan taat terhadap perintah atasan. Bahkan, sunnah mengingatkan seseorang untuk tidak mengabaikan tugas dan tanggungjawabnya.
Berikut ini adalah struktur mengikat jiwa dengan sholat. Wajib dan sunnah harus diletakkan seirama, dan tidak boleh dipisahkan. Karena kalau memisahkannya, sama artinya kita menginginkan agar tindakan kita selalu malas-malasan, dan juga alfa, dan bahkan, selebihnya kita akan kalah sebelum bertarung.
Pertautan antara sholat wajib dengan sholat sunnat, harusnya dibalik. Bukan sholat wajib baru sunnat, tapi sunnat baru wajib. Sama artinya, ketika seseorang tampil menjadi moderator, sebagai pembicara, ia awali dengan mukaddimah. Mukaddimah ini yang kemudian saya maksudkan sebagai sunnat. Asumsi dasarnya, ketika mengerjakan sholat wajib yang diawali dengan mengerjakan sholat sunnat, maka seseorang akan lebih mengenal sholat wajib. Sehingga ketika mengerjakan sholat wajib, ia akan mendapatkan kemanisan dari sholat itu. Rasa ragu dan beban, semuanya akan terkikis karena sholat dikerjakan secara terstruktur, yang diawali dengan sunnahnya, dikerjakan wajibnya, kemudian diahkiri pula dengan sunnahnya.
Untuk mendapatkan kemanisan dari sholat, maka sholat harus dikerjakan secara utuh. Kata Ibnu Kastier dalam tafsirnya; menurut kata Ibnu Abbas, artinya mendirikan sembahyang ialah mengerjakan segala fardhu-fardhunya. Diterangkan pula oleh Adl-Dlahhak, bahwa Ibnu ‘Abbas berkata, “Mendirikan sembahyang ialah menyempurnakan ruku’ sudjud, tilawah (bacaan) dan khusyu”. Kata Qatadah, mendirikan sembahyang ialah, memelihara segala waktunya, wudhunya, sudjudnya, dan segala rukun-rukunnya.
Kalau ketiga ta’rif (definisi) ini digabungkan, maka arti mendirikan sembahyang ialah : Memelihara waktu-waktunya, menyempurnakan wudhunya dan melaksanakannya dengan sempurna-sempurnanya, sempurna diri, sempurna ruku’, sempurna i’tidal, sempurna sudjud, sempurna duduk antara dua sujud, sempurna duduk tasyahhud, sempurna zikir, sempurna do’a, sempurna khusyu, sempurna penyerahan hati, sempurna takut dan sempurna segala adabnya.
Pernyataan tersebut di atas, menjelaskan kepada kita bahwa mendirikan sembahyang ialah melaksanakan roh dan hakikat shalat dalam rupanya yang sempurna, agar mendapati dan dicapai hikmah dan rahasianya. Apabila salah satunya tidak diperoleh, maka tidak ada hasilnya dari sembahyang itu. Sederhananya, bahwa mendirikan sesuatu memiliki makna mengerjakan sesuatu dengan sempurna dan sebaik-baiknya, karena ada tujuan dan maksudnya yang hendak dicapai.  
Ringkasnya, mendirikan sembahyang ialah melaksanakan sembahyang dengan sebaik-baiknya dan sesempurnanya atau mewujudkan roh sembahyang dan hakikatnya dalam rupah lahir yang sempurna, serta mengwujudkan bekasan-bekasannya sesudah sembahyang. Yaitu mengwujudkan hikmat yang diperintahkan sembahyang karenanya.
Kata As Saiyid Rasyid Ridlaa; mendirikan sembahyang ialah melaksanakan dengan sebaik-baiknya dengan cara yang paling sempurna, yaitu bangun manusia kepada sembahyang, didorong oleh rasa kebesaran Allah dan kemuliaan-Nya, lalu menunaikan dengan khusyu kepada Allah.
Kata Al Ustadz Abdul Aziz Al Chuly; Dikehendaki dari mendirikan sembahyang, melaksanakannya dengan sebaik-baiknya serta berkhusyu di dalamnya, memikirkan segala maknanya, dan mengingat akan Allah, bahwa sembahyang itu didirikannya untuk Allah SWT.
Tuhan telah memerintahkan kita untuk mendirikan sembahyang, bukan bersembahyang. Maka seseorang yang mengerjakan sembahyang menurut hakekat yang telah ditentukan, tetapi kosong dari maknanya, yakni tiada berjiwa yang wajib ada beserta tubuh sembahyang itu, dikatakan kepadanya: IA BERSEMBAHYANG, bukan MENDIRIKAN SEMBAHYANG. Ia mendirikan sembahyang, hanya ketika ia melaksanakan sembahyang itu menurut hakekat yang telah diterangkan syari’ dengan sebaik-baiknya, dengan diserta khusyu serta memahamkan makna, dan sungguh-sungguh memperlihatkan kehajatan diri kepada Allah dan berikhlas kepadanya. Diketika ini, barulah ia dipandang mendirikan sembahyang. Sedemikianlah kita diperintahkan dan dengan begitulah berwujud yang diperintahkan itu. 
(BERSAMBUNG) 
 

4 komentar:

  1. ya Allah,, tulisannya mengalir,,, satu referensi baru bagi umat muslim.....
    kembangkanterus abang,, dan ade rekomendsikan abang jadi ustat jua...

    BalasHapus
  2. Mantap e...........kunjungi juga bioreference.blogspot.com

    BalasHapus
  3. www.bioreference.blogspot.com

    BalasHapus