Rabu, 21 September 2011

ARMC IAIN Ambon Ajak Berdamai Sejati

***Abidin Wakanno: Ada Kesan Konflik Dipelihara ***

Oleh : Ismail Hehanussa

KONFLIK 1999 menjadi catatan suram bagi segenap warga di Maluku. Lambat laun, trauma konflik 1999 serasa tenggelam dimakan waktu. Hidup damai masyarakat di negeri kepulauan ini tumbuh sempurna bak cakrawala. Namun, acap kali konflik selalu menjadi persoalan pembatas dibalik sisi kehidupan sosial masyarakat. Ini kemudian meniscayakan bahwa konflik orang Maluku, seakan dipelihara bak anak 'harimau' di taman kota. Ketika sudah dewasa, anak 'harimau' itu, meronta dan ingin mengadu fisik. Ibaratnya bom waktu, ketika saatnya tiba, bom tersebut diledakan.


Catatan ini bukan untuk menggurui, tetapi sebatas untuk mengembalikan segenap cita kehidupan sosial masyarakat Maluku, di ufuk kebisingan konflik. Ketika memori anak negeri Maluku diputar ke arah tahun 1999 sampai 2004, maka rasa trauma hidup, yang diadu dengan ketakutan hidup antar orang basudara sempurna sudah. Seiring waktu, rasa ketakutan itu kemudian hilang sendirinya. Senda tawa anak negeri kembali memukau. Riang canda terus mewarnai sisi-sisi kehidupan anak-anak di negeri para datuk ini. Bukti kebesaran jiwa anak negeri Maluku dalam hubungan hidup basudara itu terbuka lebar, bak cahaya suar sebagai petunjuk awak kapal, yang hendak berlabu di dermaga.

Pintu silaturahmi masyarakat Maluku terus dipupuk pasca konflik 1999. Kehidupan orang basudara di Maluku kembali lengkap dengan ditancapnya 'Gong Perdamaian Dunia' di Kota Ambon Manise. Nyanyian anak negeri untuk jauh dari konflik terbangun dengan sempurna, mulai dari pagelaran pentas kegiatan lokal, regional, nasional, hingga internasional. Semua pagelaran ini tak lain, untuk membuktikan ke negeri lain, bahwa orang Maluku memang cinta damai. Rasa cinta itu terbukti dengan kehidupan sosial masyarakat Maluku yang sudah terbangun dengan orang lain sejak jaman bahula, bahkan secara suka rela, orang Maluku bisa hidup saling 'nerimo'.

Sayang sekali, tampak jelas bahwa konflik di Maluku sengakan dipelihara. Siapa otak yang sengaja memelihara konflik ini? Semua harus berpulang kepada eratnya hubungan kehidupan masyarakat Maluku itu sendiri. Sejatinya, masyarakat Maluku memang dikenal sebagai orang yang suka akan perdamaian sejati. Seperti yang disampaikan oleh Direktur Ambon Reconciliation Mediation Centre (ARMC) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon Dr Abidin Wakanno.

Doktor satu anak ini menjelaskan, orang Maluku dan pemerintah setempat harus berani duduk mendiskusikan pra konflik. Karena, konflik 11 September kemarin, seakan ingin mengembalikan orang Maluku kepada konflik 1999. Masa-masa suram itu selayaknya sudah tenggelam di kedalaman laut Banda. Namun, entah mengapa, memori 1999 dikembalikan lagi. "Ini salah siapa". "Tak sepantasnya kita bergelimang dalam sikap adu salah. Kelasahan itu bisa terhapuskan, bila semua orang berani menyatakan-tidak untuk konflik, damai sejati lebih baik," pesan Abidin.

Perindu syurga perdamaian ini menuturkan, konflik 11 September kemarin, menjadi bukti yang utuh bahwa ketahanan masyarakat Maluku cukup kuat. Keinginan hidup basudara begitu kuatnya, hingga busur konflik 11 September tak mampu menembusnya. Walau konflik itu sudah terjadi, namun kehidupan masyarakat orang Maluku tampak jelas tidak retak sedikitpun. Nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat Maluku mampu meredakan musibah Minggu 11 September itu. "Rasa syukur dan terima kasih harus kita berikan atas ketahanan masyarakat yang cukup luar biasa. Hampir semua elemen masyarakat tidak kehendaki konflik. Semua agama, suku dan ras mengaku cukup untuk konflik." Menurut doktor yang juga Direktur Lembaga Antar Iman ini, kepercayaan diri masyarakat cukup kuat. Karena kepercayaannya itulah, semua problem yang dihadapi bersama dapat diredakan, termasuk konflik 11 September kemarin. "Rasa kemauan untuk damai itu, hampir sempurna ditunjukkan oleh seluruh elemen masyarakat, mulai dari tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, LSM, bahkan pedagang kaki lima sekalipun, dan lengkap oleh pemerintah."

Kendati usaha mendamaikan masyarakat untuk tidak saling mengadu sudah begitu kuat dilakukan oleh masyarakat sendiri, namun dari kacamata doktor jebolan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, terhadap konflik 11 September kemarin, bahwa ada titik kelemahan dari usaha aparat keamanan untuk sama-sama meredakan konflik. Bahkan boleh dibilang, kalau ketahanan intelejen di Maluku dalam menangkal isu-isu provokasi kurang kencang dilakukan. "Bahwa aparat keamanan lambat, dan boleh jadi lalai atau kesan ada pembiaran, hingga adanya konflik itu. Tampak ada seperti pembiaran isu-isu liar di masyarakat. Kita tahu bahwa belum ada hasil outopsi atas kematian almarhum, tapi sudah lepas isu. Ini kelemahan besar," tutur Abidin.

Bukan berarti mengkritisi aparat keamanan, tapi sebatas peringatan agar intensitas tugas intelejen dalam mengawal isu-isu yang dapat memecahbelahkan warga di daerah ini harus lebih kuat ditangkis. Kata dia, seharusnya pemerintah dan aparat keamanan sadar, bahwa pasca konflik 1999 di Maluku, sudah begitu banyak terjadi perubahan. Mulai dari terjalinnya kembali hubungan basudara, kemajuan pembangunan dari aspek ekonomi dan sosial, bahkan roda kehidupan pembangunan sarana dan prasarana infrastrukturpun sudah berjalan normal. Ia menyadari, kendati pasca konflik masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki, namun itu akan menjadi batas pemisah, kalau akar-akar pemicu konflik tidak segera dibasmi. "Pasca konflik 1999 sudah banyak kemajuan, tapi ada masalah yang harus diperbaiki." Seperti, segradasi sosial orang Islam dan Kristen. Ia berpendapat, segradasi yang terpisah ini akan menjadi ruang peta konflik. Boleh dibilang bahwa segradasi Islam vs Kristen inilah yang sengaja dipelihara oleh orang-orang yang terus merongrong hubungan basudara orang Maluku. "Justru ini isu yang sangat gampang dipakai untuk memutus ruang perjumpaan masyarakat Maluku. Isu ini sangat rawan mobilisasi dan rawan konflik. Maka dibutuhkan pengintegrasian total dari pemerintah." Pemerintah dan aparat keamanan harus mampu membangun ruang-ruang informal yang seefisien mungkin. Sehingga, imej Islam vs Kristen dapat dihilangkan dari negeri orang basudara ini. "Kita tahu bahwa pasca konflik 1999, masyarakat Maluku belum mengalami civilisocity dengan baik. Rasa trauma itu pastinya masih ada di masyarakat," pesan Abidin.

Ia menyebutkan, rasa militerisme ke-Ambon-an tampak masih melekat di masyarakat. "Sedikit-sedikit keluar dengan membawa golok dan bom molotop, dan itu bukan saja antara orang Islam dengan orang Kristen, tapi sesama Muslim dan juga sesama Kristen sering terjadi." Di Maluku kata dia, perkelahian antar warga tetangga hanya karena alasan sepeleh masih terus terjadi. Kondisi ini sampai sekarang tidak mampu dihentikan.

Dalam catatannya selaku pengamat perdamaian di Maluku, pada tahun 2010 paling sedikit dikumpulkan 73 kasus konflik yang terjadi di lingkungan masyarakat. Di tahun 2011 ini, sudah ditemukan 36 kasus konflik, termasuk konflik 11 September kemarin. "Kita bisa lihat sendiri, konflik 11 September baru saja terjadi. Kemarin kita dikagetkan dengan konflik antar warga Haria dan Porto." Sesungguhnya, kata dia, ini jelas-jelas ada pembiaran agar isu konflik di Maluku dipelihara. "Pasti, di setiap kehidupan sosial masyarakat Maluku, ada mobilisasi di rana sosial keagamaan." Boleh jadi, kata dia, seiring suburnya dibumikan gerakan perdamaian pasca konflik 1999, tapi di sisi lain, ada pembiaran tumbuhnya doktrin-doktrin gerakan keagamaan radikalisme. "Saat ini kita bisa lihat sendiri, bahwa gerakan-gerakan keagamaan yang radikal juga kuat pasca konflik antar dua komunitas." Doktrin agama radikal ini bisa dimaknai sebagai simbol-simbol peta konflik, karena orang akan menjumpai identitas simbol agama tertentu dilebihkan. Bahkan di area ini, akan timbul penjustikan agama-agama. "Pasca konflik 1999, ada stigma kolektif bahwa Kristen sama dengan RMS, dan Islam sama dengan NKRI." Kalau semua masyarakat sadar, bahwa stigma inilah yang sesungguhnya menjadi 'hantu', yang menakutkan di lingkungan masyarakat. Justru akibat stigma inilah, kedua komunitas bisa saling berhadap-hadapan dalam konflik. "Karena baik itu orang Islam maupun orang Kristen, sama-sama dipolarisasi seperti ini. Polarisasi Islam dan Kristen inilah yang justru menjadi santapan empuk bagi para provokator."

Boleh jadi, ini yang dimaknai sebagai politik identitas untuk memperkeruh suasana pasca konflik 11 September kemarin. Sudah saatnya, orang Maluku menjadikan akar-akar konflik tersebut sebagai musuh besar, untuk mendapatkan perdamaian sejati. Sebab lain yang harus dituntaskan dan menjadi tanggungjawab penuh oleh pemerintah, yakni menangani pengungsi secar benar. Hak-hak para pengungsi baik korban Waringin maupun Mardika, harus diselesaikan sampai tuntas, sehingga tidak meninggalkan rasa trauma pada mereka. Alasannya, mereka sudah mengalami double traumatik, yang justru sangat berbahaya termakan isu-isu kalau tidak ditangani secara baik, pesan Abidin. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar