Jumat, 17 Desember 2010

Menanti Hukum dalam Perlindungan Wartawan

***Polisi ? Apa Memang Nyawa Kami = Seekor Ayam

Oleh : Ismail Hehanussa
Radar Ambon

SATU lagi wartawan di Maluku meninggal akibat dibunuh. Baru beberapa bulan lalu, kita dikagetkan dengan kematian Ridwan Salamun, wartawan SUNTV, yang dibunuh secara tidak manusiawi. Rasanya, duka bagi pekerja kuli tinta di Maluku tak ada habis. Untuk menutup akhir tahun 2010 saja, kita harus kehilangan dua orang teman.


Pembunuhan terhadap wartawan di Maluku, di saat mereka bertugas, menimbulkan animo yang cukup jelas, kalau kejahatan di daerah ini, telah dirangkai dalam diamnya hukum. Bila tidak, wartawan yang dilindungi oleh Undang-Undang, tidak akan diperlakukan sesadis ini. Kematian
almarhum Ridwan rasanya sebagai bukti, bahwa wartawan yang bertugas di Maluku, selalu diintai dan begitu waktunya akan dibunuh dengan cara yang sama. Bukti kematian almarhum Ridwan Salamun, adalah wujud kejahatan yang terstruktur di Maluku, yang seakan dirawat dengan subur oleh mafia berseragam.

Belum terungkap pelaku pembunuhan almarhum Ridwan, kini kita kembali dikagetkan dengan penemuan jasad Alfrets Mirulewan (28), Pimpinan Redaksi Mingguan Pelangi Maluku. Kematian Alfrets Mirulewan yang tidak wajar, mengingatkan kita kepada kematian Ridwan Salamun. Setelah ini, siapa lagi? Apakah tidak ada hukum di negeri ini, yang bisa melindungi pekerja kuli tinta, yang tertuang dengan jelas dalam hak dan kebebasannya berekspresi dari amanat Undang-Undang. Ataukah bisa jadi, undang-undang tentang perlindungan wartawan, hanya secuil kertas yang tidak bernilai, sehingga muara kerja jurnalis, selalu berakhir dalam rantai pembunuhan. Apakah logis, bila kematian Alfrets secara wajar, lalu jasadnya bersimpuh luka dan ditemukan di atas laut.

Pelabuhan Pantai Wonreli, Kisar, Kabupaten Maluku Barat Daya, menjadi saksi bisu, kepada siapapun yang peduli terhadap kerja jurnalis di Maluku. Sebab, di pelabuhan inilah tepat pada Jumat dini hari (17/12) sekira Pukul 03.00 WIT, jasad almarhum ditemukan. Kalau beberapa bulan lalu Ridwan Salamun dibunuh secara sadar di tempat umum, maka kali ini pembunuhan terhadap Alfrets dilakukan sembunyi-sembunyi. Pasalnya, kematian almarhum baru bisa diketahui setelah jasadnya ditemukan terapung di atas laut Pelabuhan Wonreli Kisar.

Benar, semua orang di Maluku termasuk wartawan tidak sedang menantikan keadilan semu. Melainkan keadilan yang berpihak kepada kebenaran. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Pers (UUP) Nomor 40 tahun 1999, maka wartawan memiliki hak dan kebebasan untuk mencari,
menghimpun, dan menyebarkan informasi sesuai juga dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Secara jelas, undang-undang memberikan kebebasan dalam pekerjaan wartawan, tanpa harus diintimidasi apalagi dibunuh. Namun, fakta di lapangan, wartawan selalu dihabisi dengan cara yang tragis. Siapa pelaku, tak ada yang mampu mengungkapkannya. Semua usaha dalam mengungkap pelaku, hanya semu yang mengiring perputaran arah waktu.

Penemuan jasad Alfrets dan proses hukum terhadap kasus pembunuhan almarhum Ridwan Salamun, mengisyaratkan kepada seluruh komponen di negeri ini, terutama wartawan, agar senantiasa berhati-hati terhadap sebuah kejahatan besar yang terstruktur di daerah Maluku. Karena, hukum tak lagi mengadili perkara keadilan, melainkan hukum diputar dengan arah jarum jam. Ketika seluruh masyarakat dan khususnya wartawan sedang menantikan kapan pelaku pembunuhan almarhum Ridwan Salamun dipenjarakan, justru kita kembali kehilangan satu prajurit di medan dasawarsa.

Seperti mafia berdasih yang sedang larut bermain pimpong di satu meja. Alhasil, semua perilaku jahat hingga pembunuhan terhadap pekerja kuli tinta di Maluku, tak mampu diungkapkan oleh pelaku hukum itu sendiri. Lalu, apakah kita akan terseduh-sedan dengan gugurnya wartawan di Maluku satu persatu, tanpa kita mengetahui siapa pelakunya, ataukah kita akan mengangkat genderang perang, melawan kejahatan yang terstruktur ini. Karena, kematian Ridwan dan Alfrets di tahun 2010, memberikan isyarakat kepada seluruh wartawan di Maluku, bahwa bukan saatnya menunggu ratu keadilan untuk proses hukum terhadap "Perlindungan Wartawan", melainkan penyatuan semua opsi untuk menyerang pintu keadilan. Kalau saja opsi ini kita abaikan, maka selama itupula, nyawa wartawan bagi para pelaku yang terus mengintai, menyamakan dengan seekor ayam. Ketika saatnya, akan ditangkap dan dibunuh sesuka motif
mereka. Kematian Alfrets, mengartikan bahwa muara kerja wartawan di Maluku telah mampu mengungkap titik setiap kejahatan yang terstruktur di negeri ini. Alhasil, satu persatu, wartawan yang melakukan tugas investigasi untuk kebenaran dibunuh, atas nama kejahatan itu.

Mengakhiri tulisan ini, kami mintakan kepada aparat penegak hukum, terutama kepolisian agar bisa lebih meningkatkan intensitas kerjanya, terutama dalam mengungkap para pelaku pembunuhan dua sahabat kami. Sebab, tindakan para pelaku jelas sangat mengancam Kebebasan Pers di Maluku. Untuk itulah, kami mengutuk dan mengecam keras tindakan kekerasan hingga merenggut nyawa wartawan oleh siapapun pelaku pembunuhan ini. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar