Jumat, 06 Agustus 2010

Provinsi Kepulauan dalam Perahu Sail Banda

Sail Banda, Lupakan Provinsi Kepulauan BENAR Sail Banda hanya nama dari kegiatan Sail Indonesia 2010 yang berpusat di Maluku. Kalau saja dipahami sedari awal, maka hakekat Sail Banda ibarat perahu. Karena dengan Sail Banda itulah, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono kembali menginjakkan kakinya di Maluku yang kelima kali. 
 
Bahkan kedatangan SBY kali ini tidak sendirian tapi beserta beberapa menterinya. Ibarat perahu, maka SBY dan para menterinya sudah berada di dalam perahu. Tinggal bagaimana Pemerintah Provinsi Maluku mengayunkan kemana perahu maksudnya Sail Banda ditujuh. Apakah kepentingan sesaat berupa lumbung ikan nasional atau Provinsi Kepulauan. Ternyata keduanya bernilai hampa pasca agenda serimonial. Beruntunglah negara tak mempunyai sebuah lembaga, untuk menilai setiap kegiatan di daerah berhasil atau tidak pasca kegiatan dihelat. Boleh jadi, Pemerintah Maluku sudah sukses melaksanakan Sail Banda. Sukses dengan tidaknya Sail Banda tidak bisa diukur. Karena tidak ada lembaga formal yang bisa mengukurnya. Apakah kesuksesan Sail Banda bernilai karena bisa mendatangkan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono beserta menterinya, atau karena ada tamu manca negara yang berkunjung ke Maluku, atau juga karena sukses menghabiskan uang rakyat. Boleh jadi, suksesnya Sail Banda karena menurut birokrat di daerah ini, ada kesepakatan dalam kerjasama dengan para investor. Kesepakatan itu yang konon akan melahirkan para investasi yang siap membangun Maluku. Nirwana berkaca dari visi-misi utama kepemerintahan Karel Albert Ralahalu jilid dua. Masih teringat di benak kita, ketika Karel bersama wakilnya Said Assagaf dilantik di Gedung Siwalima Karpan Ambon. Pelantikan dihiasi dengan janji kedua penguasa ini, untuk mensejahterakan masyarakat Maluku. Hanya dengan satu cara yakni menggolkan provinsi kepulauan. Karena lewat provinsi kepulauan itulah, Pemerintah Pusat (Pempus) tidak menganaktirikan Maluku dalam sisi anggaran. Semua pembiayaan yang digulirkan ke daerah ini, diukur sesuai kondisi geografis gugus kepulauan, bukan kependudukan. Toh kalau Maluku bisa dinobatkan sebagai Provinsi Kepulauan. Sayang sekali janji kedua petinggi itu bernilai hampa di saat orang Maluku merindukannya. Rakyat Maluku rindu agar daerah ini bisa disamaratakan dengan provinsi lain. Merindukan adanya keadilan anggaran yang digulirkan dalam pembangunan. Hampir seluruh provinsi di negara ini sudah mendapatkan haknya, termasuk Provinsi Aceh dan Provinsi Papua, dengan pemberlakuan otonomi khusus. Mestinya Maluku juga sudah menerima pemberlakuan otonomi khusus. Maksudnya Provinsi Kepulauan. Karena lewat Provinsi Kepulauan itulah, keadilan anggaran pembangunan untuk daerah ini bisa terealisasi. Keadilan anggaran yang bisa membebaskan rakyat dari kemeratalan ekonomi, akibat harus menanggung beban transportasi antar pulau. Kita bisa bayangkan berapa biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat kabupaten/kota yang hendak ke Kota Ambon (sebut saya kota Provinsi Maluku). Mereka yang ada di Pulau Saparua, Pulau Seram, Pulau Buru, Pulau Banda, Pulau Tenggara, Kei bahkan pulau-pulau terluar lainnya di daerah ini, terpaksa banting tulang mencari uang hanya untuk biaya transportasi. Pasal ini memperjelaskan bahwa kondisi kepulauan Maluku melumpuhkan rakyat dalam jejaring ekonomi, pendidikan dan sosial. Karena sampai saat ini Maluku hanya menjadi lokasi pembuangan kapal-kapal feri bekas dari luar Maluku. Bahkan jumlah armada laut antar Pulau di Maluku berupa feri tak cukup bila dihitung dengan jemari tangan. Mestinya kita berkaca dari masa lalu. Bangsa ini bahkan sudah menjadikan Maluku sebagai tuan rumah dalam even berskala nasional maupun internasional. Terakhir setelah penancapan Gong Perdamaian Dunia di Kota Ambon, kini event bergensi Sail Banda yang sementara berlangsung. Pertanyaan terbalik, apakah rakyat Maluku bisa memetik hasil dari kegiatan ini? Jawabannya pasti samar. Jawaban ini akan memperjelaskan kepada rakyat Maluku bahwa baik politisi dan penguasa di daerah ini hanya mencari keuntungan dari setiap kegiatan itu. Karena tindakan para penguasa dan politisi di daerah ini, hanya bersifat mengamankan polise mereka, setelah itu habis dimakan usia. Kita berkaca dengan jujur, kalau Sail Banda merupakan sebuah momentum yang tepat, untuk membumikan kepada bangsa dan dunia internasional bahwa kontrak Maluku dengan Pemerintah Pusat antara "Merdeka atau Provinsi Kepulauan." Sail Banda menuai arti untuk melupakan Provinsi Kepulauan. Tak ada yang salah bila orang Maluku merindukan provinsi kepulauan. Karena secara geografis bahwa Maluku adalah negeri kepulauan. Negeri kepulauan yang dilupakan oleh bangsa. Bahkan salah satu kegagalan kenapa Sail Banda tidak berpusat di Pulau Banda, akibat kepulauan tersebut. Banda diapit oleh laut yang berbuntut petinggi nomor satu di bangsa ini tidak diizinkan menaruh kakinya di pulau yang menyimpan sejarah bangsa itu. Pulau yang pernah menjadi tempat makan, minum dan tidurnya para tokoh pejuang bangsa, termasuk Bung Hatta (wakil presiden Indonesia pertama). Penulis ingin mengajak kita untuk melupakan saja sejarah itu. Sebagaimana ditulis oleh Wartawan Senior, Roesihan Anwar dalam bukunya Sejarah Kecil Petite Historis Indonesia. Roesihan menuliskan betapa kejamnya bangsa ini memperlakukan negeri-negeri yang punya penduduk sedikit, termasuk Provinsi Maluku. Dalam tulisannya, Roesihan menyebutkan kalau Maluku sudah dianaktirikan oleh bangsa sejak Dr Chris Soumokil menancapkan gendang perang melawan penindasan. Akibat perbuatan Dr Chris Soumokil itulah, bangsa kemudian menghukumnya di atas tiang gantungan. Tiang gantungan yang menyebabkan segala budinya kepada bangsa dikubur bersamaan jasadnya tahun 1966 silam. Roesihan mencatat di tahun 1948 Dr Chris Soumokil sudah menjabat sebagai Menteri Kehakiman Negara Indonesia Timur. Setelah itu di tahun 1950, Soumokil diberi tugas sebagai Jaksa Agung. Kita tidak berbicara tentang Dr Chris, melainkan keadilan bangsa kepada rakyat Maluku. Riau yang ditinjau dari segi letak geografis bisa dinobatkan menjadi Provinsi Kepulauan, sementara Maluku yang nyata adalah kepulauan justru didiamkan. Bila kita harus belajar dari momentum Sail Banda, maka tidak tercapainya Provinsi Kepulauan akibat janji yang dilupakan. Para petinggi dan politisi yang mengatasnamakan rakyat di daerah ini justru telah membuat catatan hitam pada agenda yang tidak bisa dilupakan itu. Bayangkan saja, Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu bahkan tidak sama sekali menganulir Provinsi Kepulauan kepada Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, ketika membacakan pidatonya saat puncak Sail Banda. Karel justru menyatakan, kini telah menjadi nyata bagi Bapak Presiden, bahwa usaha Pemerintah Daerah dan segenap masyarakat Maluku untuk keluar dari krisis sosial tahun 1999 terus menampakkan hasilnya. Dalam kurun waktu 2003 sampai saat ini berbagai program pembangunan di segala sektor telah menunjukkan kemajuan yang sangat berarti, sehingga Maluku sudah dapat memacu pertumbuhan ekonomi daerah mencapai 5,43 persen pada tahun 2009. Angka ini perlu kita tingkatkan mengingat masih tingginya tingkat pengangguran yang mencapai 10,38 persen turun menjadi 9,13 persen tahun 2010, sedangkan tingkat kemiskinan turun menjadi 27,74 persen dari 28,23 persen. Tingginya kedua sektor ini melebihi rata-rata nasional kita yang hanya berkisar 8,14 persen untuk tingkat pengangguran dan 14,15 persen untuk tingkat kemiskinan. Sederhana sekali pidato Karel dihadapan Susilo beserta para menterinya. Ia hanya menyampaikan apa yang dilaporkan oleh para bawahannya. Sementara kondisi riil di lapangan, bahwa rakyat Maluku masih berada dalam kesenjangan ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan sama sekali tidak terungkap. Sebagai buktinya, operasi kesehatan dari kapal-kapal induk negara asing termasuk kapal TNI AL pra-serimonial Sail Banda mencatat jumlah pelayanan kesehatan yang berhasil diberikan kepada masyarakat kurang lebih 8.400 pasien. Itu baru sifatnya di dalam Kota Ambon. Bagaimana dengan kondisi kesehatan masyarakat yang ada di pulau-pulau terluar Kota Ambon. Gubernur yang sudah memimpin Maluku selama dua periode ini bahkan mengaku kalau Provinsi Maluku adalah salah satu Provinsi Kepulauan yang memiliki lebih dari 1.340 buah pulau. 1.336 pulau merupakan pulau-pulau kecil, dan di dalamnya adalah 18 Pulau Terluar yang berbatasan langsung dengan batas kedaulatan negara lain. Konteks itu mengindikasikan bahwa aksentuasi pembangunan harus dapat menumbuhkan rasa nasionalisme warga bangsa di kawasan pulau terluar itu. Mestinya bila gubernur rindu akan perubahan masyarakat di daerah ini, ia berani menyamatkan izin kepada Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, disaksikan oleh para menterinya agar meresmikan "TUGU DEKLARASI PROVINSI KEPULAUAN di MALUKU". Gubernur justru mengakui, ada kebijakan yang ditempuh dengan membangun ‘BERANDA DAERAH’ di mana pulau-pulau terluar itu diposisikan sebagai pintu masuk ke Maluku, tetapi juga pintu keluar untuk kepentingan distribusi produk perekonomian ke pasar regional dan internasional. Dengan gagah, ia lalu mengucapkan, sebagai Provinsi Kepulauan upaya untuk menumbuhkembangkan produksi perikanan terus dilakukan, hal ini mengingat Perikanan harus menjadi sektor andalan di daerah ini. Bahkan menurut Karel dalam lanjutan sambutannya itu, data hasil perikanan daerah Maluku kini mencapai 352.958,5 ton dengan nilai sebesar 1,771.286.059,000 dari hasil penangkapan di laut dan perairan umum. Sedangkan dari budidaya mencapai 37,444,3 ton dengan nilai Rp.236.446.284.000 dari budidaya laut, budidaya air payau dan budidaya kolam. Ini terbilang wah bagi Pemerintah Pusat. Karena paling tidak SBY bersama kroninya bisa merasa lega bahwa kekayaan alam di daerah ini sungguh makmur. Tapi apakah kekayaan alam yang melimpah ruah itu sudah memberikan kesejahteraan bagi rakyat Maluku. Kesejahteraan bagi seluruh nelayan yang ada di daerah ini. Menurut hemat saya, ini sungguh ironis kalau hasil itu tidak dimanifestasikan dengan sesuatu yang bernilai umur panjang bagi negeri penghasil rempa-rempa ini. Mestinya ada istilah tukar guling kekayaan Maluku dengan Pemerintah Pusat. Kalau Pemerintah Pusat punya APBN, maka Maluku mempunyai hasil alam yang melimpah ruah. Hasil alam yang pernah menjadi aset bagi para kaum kolonialisme seperti Spanyol, Portugis, Arab, Belanda, Jepang dan terakhir Pempus. Hanya dengan Provinsi Kepulauanlah semua kekayaan di daerah ini dapat mensejahterakan rakyat Maluku. Karena dalam kebijakan anggaran pusat mendasari Provinsi Kepulauan, tidak dihitung berdasarkan jumlah penduduk. Tapi sesuai dengan rentan kondisi geografis. Menurut budayawan Maluku, M Noer Tawainella, secara historis dan geografi yang layak menjadi Provinsi Kepulauan di negara ini adalah Maluku. Kata dia, rakyat Maluku sungguh benar menanti keadilan lewat usaha pemerintah daerah dan kebijakan Pemerintah Pusat. Kebijakan yang memihak kepada masyarakat dalam bingkai Provinsi Kepulauan. Karena lewat Provinsi Kepulauan itulah, negeri yang pernah diporak-porandakan oleh konflik kemanusiaan sepuluh tahun silam bisa kembali dibangkitkan. Benar kata dia, kalau Pemerintah Provinsi Maluku bahkan di kabupaten/kota belum mengarah kepada Provinsi Kepulauan dalam bentuk kebijakannya. Kita bisa melihat sendiri berapa armada kelautan yang sudah disiapkan oleh pemerintah. Program pendidikan berbasis kepulauan bahkan tak pernah direalisasikan oleh pemerintah. Padahal ini sudah menjadi janji para pimpinan di daerah saat menyamatkan kampanye politiknya. Perlu kita sadari bahwa wilayah kepulauan membutuhkan armada laut. Will kita membutuhkan armada Maritim. Masyarakat Maluku masih didera dengan betapa mahalnya ongkos transportasi laut. Ini secara fisik. Pelakunya ya pemerintah sendiri. Beban biaya ini justru menjadi momok bahwa imingan provinsi kepulauan hanyalah sebuah mimpi. Mimpi untuk pemerintah maupun mimpi untuk masyarakat. Keterangan budayawan Maluku ini memperjelaskan kepada kita, bahwa benar Pemerintah Provinsi Maluku belum punya niat untuk merealisasikan Provinsi Kepulauan. Kendati sebenarnya masyarakat sudah sangat siap menerima realisasi provinsi kepulauan itu. Seperti apa yang dikatakan Doktor Fahmi Sallatalohy, kalau saja sentimen pemerintah tidak patriarki atau hanya menonjolkan faksi tertentu, maka kita semua sadar bahwa SDM di daerah ini sudah cukup memadai, dalam menyamatkan provinsi kepulauan. Misalnya, saat ini banyak lulusan dari luar daerah yang justru SDM-nya sangat berbobot. Ada lulusan UGM dalam bidang kelautan yang sudah diserap Unpatti. Banyak sekali kalau pemerintah benar ingin membentuk provinsi kepulauan, maka yang utama harus libatkan mereka semua. Semua alumnus yang berasal dari luar Maluku harusnya diajak oleh pemerintah, untuk bersama-sama menata metode yang baik, untuk mencapai tujuan provinsi kepulauan. Tapi semua itu hanya akan sia-sia bila pemerintah sendiri belum serius dalam hal ini. Seperti diutarakan oleh Fungsionaris Koral Management Monitoring Institut Pertanian Bogor (IPB) M Jaiz Patty. "Sejauh ini pemerintah masih melihat kekayaan laut dalam tataran makro, dalam hal ini hanya sekadar mengejar dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Pemerintah belum memikirkan bagaimana memberikan kesejahteraan kepada masyarakat secara memadai, dengan pola masyarakat sendirilah yang mensejahterakan mereka, dari sumber kekayaan alam yang ada." Pernyataan Patty ini meminta pemerintah daerah agar menyadari kalau selama ini, substansi dari gerakan menuju provinsi kepulauan belum menyentuh pokok dari kepulauan itu sendiri. Yang baru disentuh adalah wilayah tataran elit dan tataran makro. Sementara bagaimana mengajak masyarakat untuk berfikir mengembangan pesisir laut, menjadi potensial belum tersentuh. Untuk kepulauan dan kelautan pemerintah serasa menjauhinya. Akibatnya masyarakat tidak mengenal potensi daerahnya, bahkan masyarakat seakan lupa, kalau mereka beradab dengan kulturnya sebagai masyarakat pesisir pantai, sehingga tidak ada pola untuk mensejahterakan diri mereka (masyarakat pesisir_red). Semestinya Sail Banda adalah klimaks atau benang merah dari nyanyian orang Maluku dalam menancapkan Provinsi Kepulauan. Sayang sekali, itu hanya mimpi dalam tabir "nanti kong". (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar